19 Agustus 2011

Ayo Bangun Keluarga Haus Ilmu!

FOTO:pelangiituaku.wordpress
Bagaimana membangun keluarga haus ilmu? Berikut ini kiat-kiat praktisnya. 1. Tanamkan kepada seluruh keluarga bahwa menuntut ilmu adalah fardhu
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) bersabda:
—teks ayat—
Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi tiap-tiap Muslim. (Riwayat Ahmad)
Perkataan “faridhah” dalam Hadits tersebut menunjukkan bahwa di sana ada ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain (kewajiban yang tidak bisa diwakilkan).
Terdapat beberapa pandangan ulama tentang ilmu yang bersifat fardhu ‘ain ini. Ada yang mengatakan ilmu-ilmu yang berkenaan dengan al-Qur`an, as-Sunnah, fiqh, tafsir, dan ilmu kalam.
Ada juga yang berpendapat, yakni segala ilmu yang dapat membina akidah dan keyakinan yang benar, serta dapat menjaga diri dari syirik dan khurafat. Ia juga segala ilmu yang dapat membetulkan ibadah dari segi zahirnya dengan melaksanakannya sesuai dengan as-Sunnah. Juga segala ilmu yang dapat membersihkan diri dan hati, membina akhlak dan pribadi yang mulia, serta dapat menjauhkan diri dari segala kejahatan dan kemungkaran. Inilah batasan mengenai ilmu-ilmu yang termasuk fadhu’ ain.
2. Tanamkan pula bahwa menuntut ilmu adalah ibadah dan jihad
Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) berfirman: Maka janganlah engkau mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur`an dengan jihad yang besar. (Al-Furqan [25]: 52)
Berjihad dengan al-Qur`an mencerminkan berjihad dengan ilmu. Penuntut ilmu yang sebenarnya harus menguasai al-Qur`an. Dengan itulah ia mempengaruhi dan menyebarkan kebaikan, yang karenanya ia menjadi mulia.
Dalam sebuah Hadits Rasulullah SAW berkata, “Keutamaan seorang yang berilmu atau ahli ibadah adalah sebagaimana keutamaanku atas orang yang terendah dari kalian”.
3. Kita dilarang hidup dan berjuang tanpa ilmu
Firman Allah SWT, yang artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Al-Isra’ [17]: 36 ).
Rasulullah SAW juga bersabda:
“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya laksana hujan deras yang menimpa tanah. Di antara tanah itu ada yang subur. Ia menerima air lalu menumbuhkan tanaman dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah kering yang menyimpan air. Lalu Allah memberi manusia manfaat darinya sehingga mereka meminumnya, mengairi tanaman, dan berladang dengannya. Hujan itu juga mengenai jenis (tanah yang) lain yaitu yang tandus, yang tidak menyimpan air, tidak pula menumbuhkan tanaman. Itulah perumpamaan orang yang memahami agama Allah, lalu ia mendapat manfaat dari apa yang Allah mengutus aku dengannya. Juga perumpamaan atas orang yang tidak menaruh perhatian terhadapnya. Ia tidak menerima petunjuk Allah yang dengannya aku diutus.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari [no.79], Muslim [no.2282], dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari RA. Lafazh hadits ini milik al-Bukhari).
4. Kepala keluarga harus menjadi sumber ilmu atau motivator pencri ilmu
Salah satu tugas kepala keluarga adalah memberikan pendidikan agama kepada istri dan anak-anaknya, meluruskan mereka dari penyimpangan, sebagaiman Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At-Tahrim [66]: 6)
Menjaga keluarga yang dimaksud dalam ayat yang ini adalah dengan cara mendidik, mengajari, memerintahkan mereka, membantu mereka, serta melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya.
Seorang suami wajib mengajari keluarganya tentang perkara yang di-fardhu-kan. Bila ia mendapati mereka berbuat maksiat segeralah dinasehati (Tafsir Ath-Thabari, 28/166, Ruhul Ma’ani, 28/156).
Penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa seorang kepala keluarga harus memiliki ilmu yang cukup untuk mendidik istri dan anaknya, mengarahkan mereka kepada kebenaran, dan menjauhkan mereka dari kemaksiatan.
Namun banyak kepala keluarga yang melalaikan kewajiban ini. Yang ada hanyalah bagaimana mencukupi kebutuhan materi, sehingga mereka tenggelam dalam perlombaan mengejar dunia, sementara kebutuhan spiritual tidak masuk dalam hitungannya.
Anak dan istri mereka hanya dijejali dengan harta dunia, bersenang-senang dengannya, dan bersamaan dengan itu mereka tidak mengerti ilmu agama.
Kita perlu waspada dengan peringatan Rasulullah SAW dalam Hadits beliau ini:
”Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan serta merta dari hamba-Nya, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama, hingga manakala Dia tidak menyisakan satu orang alim pun (dalam riwayat lain: Hingga manakala tidak tertinggal satu orang alim pun), manusia akan menjadikan pemimpin-pemimpin dari orang-orang yang bodoh, maka tatkala mereka akan ditanya (tentang masalah agama), lalu mereka akan berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.” (Riwayat Bukhari dalam al-Ilmu 1/234 dan Muslim dalam al-Ilmu 16/223)
Adab Menuntut Ilmu
Agar ilmu dapat bermanfaat bagi pribadi, keluarga, maupun umat, maka proses pencariannya perlu mengikuti adab sebagaimana ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dalam bukunya Kitabul ’ilmi
1. Ikhlas karena Allah SWT.
Sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang menuntut ilmu, yang mestinya hanya karena Allah Subhanahu wata’ala, sedang ia tidak menuntutnya kecuali untuk mendapatkan materi dunia, ia tidak akan mendapatkan bau surga pada hari kiamat.” (Riwayat Ahmad, Abu, Daud dan Ibnu Majah)
2. Niatkan untuk menghilangkan kebodohan dari dan orang lain.
Manusia pada mulanya adalah bodoh. Kita berniat untuk menghilangkan kebodohan dari diri kita, setelah itu baru orang lain. Rasulullah SAW bersabda , “Sampaikanlah dariku walupun cuma satu ayat.” (Riwayat Bukhari)
3. Berniat untuk menegakkan syariah.
Sudah menjadi keharusan bagi para penuntut ilmu untuk berniat dalam menuntut ilmu demi membela sekaligus menegakkan syariat Islam. Tidak ada yang bisa melakukannya kecuali orang yang memiliki ilmu yang benar sesuai petunjuk al-Qur`an dan as-Sunnah.
4. Lapang dada dalam menerima perbedaan pendapat.
Apabila ada perbedaan pendapat, hendaknya penuntut ilmu menerima perbedaan itu dengan lapang dada selama perbedaan itu pada persoalaan ijtihad, bukan persoalaan akidah, karena persoalaan akidah adalah masalah yang tidak ada perbedaan pendapat di kalangan salaf.
5. Mengamalkan ilmu yang telah diperoleh.
Ini karena amal adalah buah dari ilmu, baik itu akidah, ibadah, akhlak maupun muamalah.
6. Menghormati dan memuliakan para ulama.
Menerima perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama. Jangan sampai ia mengumpat atau mencela ulama yang tidak diikutinya.
7. Mencari kebenaran dan sabar.
Ketika sampai kepada kita sebuah Hadits, misalnya, kita harus meneliti lebih dahulu tentang keshahihan Hadits tersebut. Dalam mencari kebenaran ini kita harus sabar, jangan tergesa-gesa, jangan cepat merasa bosan atau berkeluh kesah.
Hambatan
Berikut ini hambatan dalam menghidupkan kultur keilmuan dalam keluarga.
1. Kurangnya murabbi dan muallim.
Ini bisa diatasi dengan berguru kepada orang alim yang lebih pandai. Mencontoh pengalaman Nabi Musa, sekalipun telah diangkat sebagai Rasul (yang secara logika sudah sangat sempurna ilmunya) ternyata masih bersedia berguru pada Nabi Khidhir (lihat firman Allah SWT dalam Al-Kahf [18]: 78).
2. Tidak sabar dalam belajar.
Kita harus selalu merasa haus akan ilmu dan tak cepat puas dengan apa yang didapat. Ibarat berlayar, semakin jauh ke tengah samudra, semakin menyadari betapa luasnya samudra itu.
3. Banyak kesibukan
Setiap orang pasti punya kesibukan, bahkan waktu istirahat terkadang sangat sedikit. Namun, bagi sebagai Muslim, hendaknya ini tidak menjadi halangan untuk menuntut ilmu.
4. Sulit menghafal.
Menghafal adalah tabiat. Barangsiapa bersungguh-sungguh ia akan dapati jalan untuk membuka “daya hafalnya”.
5. Tak bisa mengamalkan ilmu tersebut.
Apa yang diperoleh haruslah diamalkan sehingga memberikan kemaslahatan bagi diri dan umat. Sebab, dengan mengamalkan ilmu, berarti tujuan dari menggapai ilmu telah terlaksana.
SUARA HIDAYATULLAH MEI 2008

Tidak ada komentar: