01 Maret 2012

Menentukan Prioritas Kebutuhan dan Keinginan

DALAM salah satu sesi pelatihan, saya pernahbertanya kepada peserta, Apakah penghasilansebesar Rp1,2 juta yang masih menjadi patokanUMP (Upah Minimum Provinsi) bisa untuk hidup diJakarta? Rata-rata menjawab, kurang.Dalam lain kesempatan, pertanyaan ini sayaajukan kepada peserta training yang sudah memiliki penghasilan bulanan Rp50 juta, Apakahpenghasilan Anda yang 50 juta bisa hidup layak diJakarta?Lagi-lagi jawaban yang saya terima, cukupmengejutkan, kurang.Bagi yang memiliki penghasilan Rp1,2 juta kurang,sementara yang RP50 juta pun mengatakankurang. Jadi yang benar, yang mana?Saya berfikiran, bahwa sebenarnya angka-angkadi atas hanya permainan pikiran kita saja, besarkecilnya sebuah angka tergantung siapa yangmemandang. Kita lihat realitasnya, si karyawanyang hanya berpenghasilan Rp1,2 juta per bulanmenurut logika sederhana, sangat masuk akal jikadia mengatakan kurang.Dengan tingkat inflasi semakin tinggi, kebutuhanpokok manusia (sering disingkat sembako) yangterus naik, tentu dengan uang Rp1,2 juta, punyaanak dan isteri tentulah sangat tidak layak, apalagibagi yang tinggal di kota besar seperti Jakarta.Tetapi realitasnya, mayoritas kaum urban yangtinggal di kota-kota besar seperti Jakarta,Surabaya, Makasar, Medan, penghasilannya lebihsedikit tidak jauh dari UMP.Bagaimana mereka mau hidup layak, jika hanyamengandalkan penghasilan Rp1,2 juta tersebut?Sekarang kita lihat titik lain, yang berpenghasilan50 juta, kenapa sampai mengatakan kurang juga.Jika kita lihat lebih dalam, ternyata, gayahidupnyalah yang membuat dia selalu kurang.Semakin tinggi tingkat dan status sosial seseorang,kecenderungan yang terjadi di masyarakat,biasanya untuk memenuhi "keinginan lingkungan"dan melakukan penyesuaian terhadap hal-halbaru di sekitarnya.Jika dahulu hanya punya mobil sederhana,dengan meningkatnya penghasilan, maka adakeinginan untuk mengganti dengan mobil mewah,walau dengan cara mencicil. Jika dahulu makanhanya di lingkungan kantor atau usahanya, ketikasudah memiliki kenaikan penghasilan yangsignificance, maka berburu rasa lidah dari saturestoran ke restoran kelas atas lain menjadirutinitas harian yang mengasyikkan. Begitupundengan lifestyles (gaya hidup) yang lain.Tidak salah jika kita memiliki itu semua, tetapialangkah baiknya jika keinginan tersebut dibarengidengan kebutuhan yang memang sangat-sangatdiperlukan. Fokus pada kebutuhan inilah yangseharusnya menjadi prioritas, bukan padasekedar keinginan. Karena kita tidak pernah tahu,betapa cepatnya perubahan itu terjadi, semisalkrisis moneter pada tahun 1998. Tidak ada yangmenyangka akan terjadinya gelombang krisisbesar-besaran di Asia Tenggara, termasukIndonesia. Hanya masyarakat yang bijaklah yangbenar-benar merasakan dampak positifnya untuklebihmemenuhi kebutuhan ketimbang keinginansementara.Revolusi Paradigma, dari Input menjadiOutputRata-rata masyarakat kita cenderung melakukuanpola yang sama dari hari ke hari, setelah lulussekolah/kuliah biasanya ingin mencari kerja, entahdengan alasan ingin mencari pengalaman ataumemang sudah meniatkan "asumsi orang tua",bahwasanya menjadi karyawan adalah puncakdari status sosial.Biasanya ketika melamar pekerjaan, selalu melihatdari ijazah, kemampuan bahasa asing, tes potensiakademik yang bersifat kuantitatif. Kalaupunakhirnya di terima bekerja, banyak yang bekerja,karena sudah tidak ada pilihan lain, atau memangyang dibutuhkan adalah keterampilan tertentu.Sehingga mulai banyak yang menyesuaikandengan realitas yang ada. Banyaknya sarjana yangtidak sesuai dengan jurusan atau bidang studiyang digeluti selama kuliah adalah realitas hidupdi negeri tercinta ini.Ini yang saya namakan paradigma dari input , apayang kita punyai bukan yang kita inginkan. Dalamkonteks keuangan pun begitu, kita hanya melihatapa yang ada di kantong kita saat ini, bukan apayang di luar kantong.Misalnya jika kita ingin memiliki sebuah laptopseharga Rp7 juta, sementara di kantong kitahanya ada uang Rp1 juta, maka kita akanmengurungkan niat kita untuk membeli laptoptersebut.Tetapi jika kita dengan paradigma output atauberfikir dari akhir (starting with the end), maka kitaakan mendayagunakan laptop tersebut (walaudengan cara cicilan) untuk bisa menjadi sesuatuyang produktif, misal menghasilkan tulisan darilaptop tersebut, yang dengan tulisan kita yangdimuat di media massa, akan dapatmenyelesaikan sedikit demi sedikit utang produktifkita bahkan bisa menghasilkan berkali lipat dariharga laptop tersebut.Paradigma inilah yang seharusnya kita miliki untukdapat menentukan mana yang prioritaskebutuhan, bukan sekedar keinginan semata."Siapa yang berjalan dengan keyakinan positif(positive believe), akan sampai ke tujuan".Hari 'Soul' PutraMRE Financial & Business Advisorywww.mre.co.idCommunity Specialist, Penulis Buku 18Decision for SOUL Therapy (/) (wdi)