19 Agustus 2011

Ayo Bangun Keluarga Haus Ilmu!

FOTO:pelangiituaku.wordpress
Bagaimana membangun keluarga haus ilmu? Berikut ini kiat-kiat praktisnya. 1. Tanamkan kepada seluruh keluarga bahwa menuntut ilmu adalah fardhu
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) bersabda:
—teks ayat—
Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi tiap-tiap Muslim. (Riwayat Ahmad)
Perkataan “faridhah” dalam Hadits tersebut menunjukkan bahwa di sana ada ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain (kewajiban yang tidak bisa diwakilkan).
Terdapat beberapa pandangan ulama tentang ilmu yang bersifat fardhu ‘ain ini. Ada yang mengatakan ilmu-ilmu yang berkenaan dengan al-Qur`an, as-Sunnah, fiqh, tafsir, dan ilmu kalam.
Ada juga yang berpendapat, yakni segala ilmu yang dapat membina akidah dan keyakinan yang benar, serta dapat menjaga diri dari syirik dan khurafat. Ia juga segala ilmu yang dapat membetulkan ibadah dari segi zahirnya dengan melaksanakannya sesuai dengan as-Sunnah. Juga segala ilmu yang dapat membersihkan diri dan hati, membina akhlak dan pribadi yang mulia, serta dapat menjauhkan diri dari segala kejahatan dan kemungkaran. Inilah batasan mengenai ilmu-ilmu yang termasuk fadhu’ ain.
2. Tanamkan pula bahwa menuntut ilmu adalah ibadah dan jihad
Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) berfirman: Maka janganlah engkau mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur`an dengan jihad yang besar. (Al-Furqan [25]: 52)
Berjihad dengan al-Qur`an mencerminkan berjihad dengan ilmu. Penuntut ilmu yang sebenarnya harus menguasai al-Qur`an. Dengan itulah ia mempengaruhi dan menyebarkan kebaikan, yang karenanya ia menjadi mulia.
Dalam sebuah Hadits Rasulullah SAW berkata, “Keutamaan seorang yang berilmu atau ahli ibadah adalah sebagaimana keutamaanku atas orang yang terendah dari kalian”.
3. Kita dilarang hidup dan berjuang tanpa ilmu
Firman Allah SWT, yang artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Al-Isra’ [17]: 36 ).
Rasulullah SAW juga bersabda:
“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya laksana hujan deras yang menimpa tanah. Di antara tanah itu ada yang subur. Ia menerima air lalu menumbuhkan tanaman dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah kering yang menyimpan air. Lalu Allah memberi manusia manfaat darinya sehingga mereka meminumnya, mengairi tanaman, dan berladang dengannya. Hujan itu juga mengenai jenis (tanah yang) lain yaitu yang tandus, yang tidak menyimpan air, tidak pula menumbuhkan tanaman. Itulah perumpamaan orang yang memahami agama Allah, lalu ia mendapat manfaat dari apa yang Allah mengutus aku dengannya. Juga perumpamaan atas orang yang tidak menaruh perhatian terhadapnya. Ia tidak menerima petunjuk Allah yang dengannya aku diutus.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari [no.79], Muslim [no.2282], dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari RA. Lafazh hadits ini milik al-Bukhari).
4. Kepala keluarga harus menjadi sumber ilmu atau motivator pencri ilmu
Salah satu tugas kepala keluarga adalah memberikan pendidikan agama kepada istri dan anak-anaknya, meluruskan mereka dari penyimpangan, sebagaiman Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At-Tahrim [66]: 6)
Menjaga keluarga yang dimaksud dalam ayat yang ini adalah dengan cara mendidik, mengajari, memerintahkan mereka, membantu mereka, serta melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya.
Seorang suami wajib mengajari keluarganya tentang perkara yang di-fardhu-kan. Bila ia mendapati mereka berbuat maksiat segeralah dinasehati (Tafsir Ath-Thabari, 28/166, Ruhul Ma’ani, 28/156).
Penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa seorang kepala keluarga harus memiliki ilmu yang cukup untuk mendidik istri dan anaknya, mengarahkan mereka kepada kebenaran, dan menjauhkan mereka dari kemaksiatan.
Namun banyak kepala keluarga yang melalaikan kewajiban ini. Yang ada hanyalah bagaimana mencukupi kebutuhan materi, sehingga mereka tenggelam dalam perlombaan mengejar dunia, sementara kebutuhan spiritual tidak masuk dalam hitungannya.
Anak dan istri mereka hanya dijejali dengan harta dunia, bersenang-senang dengannya, dan bersamaan dengan itu mereka tidak mengerti ilmu agama.
Kita perlu waspada dengan peringatan Rasulullah SAW dalam Hadits beliau ini:
”Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan serta merta dari hamba-Nya, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan dicabutnya nyawa para ulama, hingga manakala Dia tidak menyisakan satu orang alim pun (dalam riwayat lain: Hingga manakala tidak tertinggal satu orang alim pun), manusia akan menjadikan pemimpin-pemimpin dari orang-orang yang bodoh, maka tatkala mereka akan ditanya (tentang masalah agama), lalu mereka akan berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.” (Riwayat Bukhari dalam al-Ilmu 1/234 dan Muslim dalam al-Ilmu 16/223)
Adab Menuntut Ilmu
Agar ilmu dapat bermanfaat bagi pribadi, keluarga, maupun umat, maka proses pencariannya perlu mengikuti adab sebagaimana ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dalam bukunya Kitabul ’ilmi
1. Ikhlas karena Allah SWT.
Sabda Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang menuntut ilmu, yang mestinya hanya karena Allah Subhanahu wata’ala, sedang ia tidak menuntutnya kecuali untuk mendapatkan materi dunia, ia tidak akan mendapatkan bau surga pada hari kiamat.” (Riwayat Ahmad, Abu, Daud dan Ibnu Majah)
2. Niatkan untuk menghilangkan kebodohan dari dan orang lain.
Manusia pada mulanya adalah bodoh. Kita berniat untuk menghilangkan kebodohan dari diri kita, setelah itu baru orang lain. Rasulullah SAW bersabda , “Sampaikanlah dariku walupun cuma satu ayat.” (Riwayat Bukhari)
3. Berniat untuk menegakkan syariah.
Sudah menjadi keharusan bagi para penuntut ilmu untuk berniat dalam menuntut ilmu demi membela sekaligus menegakkan syariat Islam. Tidak ada yang bisa melakukannya kecuali orang yang memiliki ilmu yang benar sesuai petunjuk al-Qur`an dan as-Sunnah.
4. Lapang dada dalam menerima perbedaan pendapat.
Apabila ada perbedaan pendapat, hendaknya penuntut ilmu menerima perbedaan itu dengan lapang dada selama perbedaan itu pada persoalaan ijtihad, bukan persoalaan akidah, karena persoalaan akidah adalah masalah yang tidak ada perbedaan pendapat di kalangan salaf.
5. Mengamalkan ilmu yang telah diperoleh.
Ini karena amal adalah buah dari ilmu, baik itu akidah, ibadah, akhlak maupun muamalah.
6. Menghormati dan memuliakan para ulama.
Menerima perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama. Jangan sampai ia mengumpat atau mencela ulama yang tidak diikutinya.
7. Mencari kebenaran dan sabar.
Ketika sampai kepada kita sebuah Hadits, misalnya, kita harus meneliti lebih dahulu tentang keshahihan Hadits tersebut. Dalam mencari kebenaran ini kita harus sabar, jangan tergesa-gesa, jangan cepat merasa bosan atau berkeluh kesah.
Hambatan
Berikut ini hambatan dalam menghidupkan kultur keilmuan dalam keluarga.
1. Kurangnya murabbi dan muallim.
Ini bisa diatasi dengan berguru kepada orang alim yang lebih pandai. Mencontoh pengalaman Nabi Musa, sekalipun telah diangkat sebagai Rasul (yang secara logika sudah sangat sempurna ilmunya) ternyata masih bersedia berguru pada Nabi Khidhir (lihat firman Allah SWT dalam Al-Kahf [18]: 78).
2. Tidak sabar dalam belajar.
Kita harus selalu merasa haus akan ilmu dan tak cepat puas dengan apa yang didapat. Ibarat berlayar, semakin jauh ke tengah samudra, semakin menyadari betapa luasnya samudra itu.
3. Banyak kesibukan
Setiap orang pasti punya kesibukan, bahkan waktu istirahat terkadang sangat sedikit. Namun, bagi sebagai Muslim, hendaknya ini tidak menjadi halangan untuk menuntut ilmu.
4. Sulit menghafal.
Menghafal adalah tabiat. Barangsiapa bersungguh-sungguh ia akan dapati jalan untuk membuka “daya hafalnya”.
5. Tak bisa mengamalkan ilmu tersebut.
Apa yang diperoleh haruslah diamalkan sehingga memberikan kemaslahatan bagi diri dan umat. Sebab, dengan mengamalkan ilmu, berarti tujuan dari menggapai ilmu telah terlaksana.
SUARA HIDAYATULLAH MEI 2008

Ilmu, Penerang Bagi Keluarga


Katakanlah (hai Muhammad), ”Apakah sama orang-orang yang berpengetahuan dengan orang yang tidak berpengetahuan?” Sesungguhnya yang mampu mengambil pelajaran hanyalah orang-orang yang berakal.
(Az-Zumar [39]: 9)
Di dalam al-Qur`an pesan dari ayat di atas juga banyak terdapat pada ayat-ayat lain. Kesemuanya memberi sentakan kesadaran kepada kita agar menjadi keluarga pembelajar, yaitu keluarga yang haus ilmu. Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) berfirman:
Katakanlah (Hai Muhammad), ”Samakah orang yang buta dengan orang yang melihat? Atau samakah kegelapan itu dengan cahaya?…” (Ar-Ra’d [13]: 16)
Dalam ayat lain kita juga bisa mendapati:
Apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak mendapat petunjuk atau orang yang berjalan dengan berdiri lurus di atas jalan yang lurus? (Al-Mulk [67]: 22)
Juga ayat berikut:
Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. Tidak (pula) sama antara gelap gulita dengan cahaya. Tidak sama yang teduh dengan yang panas. Serta tidak sama orang yang hidup dengan orang yang mati. (Fatir [35]: 19–22)
Bodoh = Mati
Mengapa Islam begitu mementingkan ilmu dan memuliakan orang-orang yang belajar? Sebab, kebodohan dalam Islam adalah kematian spiritual yang lebih merugikan dibanding makanan rusak yang tak hanya tidak enak dimakan, tapi bisa mendatangkan kuman dan penyakit, serta membawa penderitaan dan kemalangan abadi.
Kebodohan merupakan keburukan terbesar dan musuh yang paling berbahaya. Sebab, kebodohan dapat meruntuhkan bangunan masa depan. Kebodohan adalah kehancuran. Kebodohan adalah kematian. Kebodohan merupakan sebab utama tergelincirnya manusia dari jalan yang benar. Kebodohan merupakan sumber dan penyebab utama kejahatan.
Suatu hari Nabi SAW ditanya tentang orang yang bodoh. Beliau menjawab: (1) orang yang bodoh dapat menyusahkanmu jika engkau bergaul dengannya, (2) ia bisa menyalahkanmu ketika engkau tidak membantunya, (3) ia juga dapat mengungkit-ungkit sesuatu yang dia berikan kepadamu, (4) ia tidak berterimakasih jika engkau memberinya, (5) jika engkau mempercayakan rahasia-rahasiamu kepadanya, ia akan menyalahgunakan kepercayaanmu.
Dari jawaban Nabi SAW di atas terlihat bahwa orang yang bodoh tidak mempunyai nilai positif sama sekali. Bayangkan jika kebodohan itu terjadi dan menimpa kepala keluarga kita! Ia menganggap masalah agama tidak prinsip. Tak ada rencana dunia dalam pikirannya.
Apalah artinya harta benda yang banyak atau rumah yang mewah jika kita dipimpin oleh orang bodoh dan tak berpengetahuan. Pemimpin rumah tangga yang bodoh akan menjadi sumber utama kegelisahan, ketidaknyamanan, kesulitan, penderitaan, dan siksaan dalam rumah tangga. Rasanya, tak akan ada lagi harapan dan masa depan buat keluarga tersebut.
Itulah sebabnya kita harus lari dan menghindar jauh dari kebodohan dan orang-orang yang bodoh. Lari dari kebodohan berarti kita harus menjadi manusia pembelajar, orang yang haus ilmu, dan terus belajar dan belajar. Adapun lari dari orang bodoh berarti kita menghindari bergaul dengan orang-orang yang bodoh, yaitu orang-orang yang puas dengan ilmunya yang serba sedikit, atau orang yang enggan dan malas belajar.
Kita menghindari pergaulan dan pertemanan dengan mereka sebab kebodohannya bisa menular kepada kita. Kita bisa ikut-ikutan menjadi malas belajar dan berhenti mencari ilmu.
Keluarga Pembelajar
Setiap Muslim harus menghadirkan majelis ilmu dalam keluarganya. Rumah seorang Muslim adalah madrasah yang pertama dan paling utama. Di sini orangtua dan anak bergantian menjadi guru dan murid.
Di rumah harus ada dialog, diskusi, dan taushiah ilmiah. Orangtua hendaknya bisa menjadi tempat bertanya bagi anak-anaknya. Orangtua harus bisa menjadi teman belajar.
Dan, yang lebih penting lagi, orangtua harus menjadi teladan dalam hal belajar. Di mata anak-anaknya, orangtua harus terlihat paling antusias belajar, menekuni ilmu, dan haus akan pengetahuan. Mereka harus melihat setiap hari orangtuanya tak pernah lupa membaca al-Qur`an dan rajin membaca buku-buku pengetahuan.
Hadirkan buku-buku dan literatur di rumah kita. Begitu juga orang-orang yang datang untuk bertanya atau berdiskusi di rumah kita. Majelis taklim harus kerap digelar. Semua anggota keluarga harus sibuk menuntut ilmu.
Ilmu akan terus berkembang. Hasil survei dan penelitian ilmiah akan terus berdatangan. Temuan-temuan baru akan selalu mengubah teori dan paradigma yang ada sebelumnya.
Itulah makanya investasi ilmu tidak cukup hanya sekali. Kita tak boleh puas hanya dengan memproleh gelar S1, S2, atau S3. Ilmu dan kemampuan kita harus selalu diperbarui (update) dan ditingkatkan (up grade). Ilmu lama terus diasah, sedang ilmu baru harus terus menerus ditambah.
Kita dan keluarga harus menjadi manusia pembelajar yang tidak pernah puas dengan ilmu yang didapat. Tak pernah berhenti belajar. Carilah ilmu sejak dari buaian kasih bunda hingga kita sendiri dikuburkan (uth-lubul ilma minal mahdi ilal lahdi)
Nabi Ibrahim Alaihissalam (AS) adalah teladan yang memahi pentingnya ilmu bagi keluarga. Tatkala Allah SWT memerintahkan beliau untuk menyembelih anaknya, maka Nabi Ibrahim AS terlebih dahulu memanggil sang anak untuk berdialog. Hal ini diceritakan oleh al-Qur`an:
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersama-samanya, (Ibrahim) berkata, ”Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia (Ismail) menjawab, ”Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (As-Saffat [37]: 102)
Ungkapan Nabi Ibrahim AS, ” …fikirkanlah apa pendapatmu,” menurut tafsir Ibnu Katsir, menunjukkan kebijaksanaan sang ayah dalam menguji anaknya. Kita tahu, ujian selalu melalui tahap pembelajaran, tidak serta merta diberikan. Itu berarti, Nabi Ibrahim AS sebelumnya telah menanamkan pentingnya ilmu kepada keluarganya agar bisa menelaah maksud dari sebuah perintah. Dengan kata lain, ayat tersebut menggambarkan teladan sebuah keluarga yang haus ilmu.
Rasulullah SAW bersabda: Tuntutlah ilmu, sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah Azza wa Jalla. Sedang mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah. Sesungguhnya ilmu pengetahuan menempatkan pemiliknya dalam kedudukan yang terhormat dan mulia (tinggi). Ilmu pengetahuan adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan di akhirat. (Riwayat Ar-Rabii’)
Ilmu pengetahuan merupakan cahaya intlektual, hujjah yang paripurna, petunjuk yang baik, kecantikan yang jelas, langkah yang paling strategis, harta yang paling berharga, dan investasi yang tidak sedikit.
Rasulullah SAW memberi motivasi kepada kita: Barangsiapa menempuh suatu jalan di mana ia menuntut ilmu di dalamnya, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Tidak akan berkumpul suatu kaum dalam rumah dari beberapa rumah Allah, di mana mereka membaca kitab dan mempelajari di antara mereka, melainkan para malaikat akan menaungi mereka dan turunlah kepada mereka ketentraman, dan rahmat meliputi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka sebagai orang yang berada di sisi-Nya. Dan barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak akan cepat mendapatkan keturunannya. (Riwayat Muslim)
Wallahu a’lam bish shawab.***
SUARA HIDAYATULLAH MEI 2008

Mensyukuri Nikmat Allah

FOTO: kfk.kompas.com
”Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu beruntung.” (al-A’raf [7]: 69). Seratus tahun yang lalu, pernahkah kita membayangkan hidup di dunia seperti sekarang ini? Pernahkah kita membayangkan memiliki tubuh seperti tubuh kita sekarang?
Pernahkah kita membayangkan memiliki wajah seperti wajah kita sekarang? Punya telinga yang bisa mendengar, punya mata yang bisa melihat, punya tangan yang bisa bergerak, punya kaki yang bisa menyangga?
Maka nikmat Allah yang manakah yang kita dustakan?
Bayangkan, indahnya masa kecil kita.
Saat itu kita bebas tertawa, bergembira, dan penuh suka cita.
Senyum kita mengembang, tawa kita riang, semuanya ikut senang.
Padahal saat itu kita belum punya apa-apa.
Padahal saat itu kita masih sangat lemah.
Padahal saat itu kita masih bergantung sepenuhnya.
Maka nikmat Allah yang manakah yang kamu dustakan?
Lalu mengapa kini kita merasa susah?
Mengapa kini kita merasa terbebani dengan kesulitan yang kita hadapi?
Mengapa kita merasa terpuruk di dalam usaha?
Mengapa kita merasa kehilangan kesempatan dan peluang?
Mengapa kita merasa krisis keuangan?
Mengapa kita merasa terjepit dan tertimpa musibah dan kehancuran hidup?
Mengapa kita merasa menjadi korban?
Mengapa kita merasa sesak nafas seolah semangat dan gairah hidup timbul tenggelam?
Lalu, pantaskah kita merasa demikian?
Mana senyummu?
Mana tawamu?
Mana sukacitamu?
Mana bahagiamu?
Mana syukurmu?
…….”Jika engkau bersyukur, maka akan Ku-tambahkan (nikmat-Ku), dan jika engkau kufur (ingkar), sesungguhnya siksa-Ku amat pedih. (Ibrahim [14]: 7).
Orang yang pandai bersyukur, hidupnya mujur dan makmur.
Orang yang tidak pandai bersyukur, hidupnya hancur lebur.
Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (Luqman [31]: 12). SUARA HIDAYATULLAH MEI 2008

Setiap Anak Bisa Sukses


Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Ingin anak Anda sukses? Perhatikan, siapa gurunya!
Sebuah riset yang dilakukan oleh S. Paul Wright, Sandra Horn, dan William Sanders (1997) terhadap 60 ribu siswa memberi pelajaran berharga kepada kita betapa pentingnya memperhatikan siapa yang menjadi guru bagi anak-anak kita. Hasil riset yang mereka lakukan menunjukkan bahwa faktor paling penting yang berpengaruh secara langsung terhadap belajar murid adalah guru. Maka, jika anak- anak yang kurang bergairah saat belajar, pertanyaan pertama yang harus dijawab secara tuntas sebelum memanggil orangtua adalah bagaimana guru mengelola kelas dan menjalin hubungan dengan murid-muridnya. Di luar itu, ada pertanyaan lain yang harus dijawab, apakah guru memiliki integritas pribadi atau tidak. Ini berarti, kompetensi saja tak cukup.
Kembali pada riset yang kita perbincangkan di awal tulisan ini. Wright dan kawan-kawan mencatat bahwa, guru-guru yang efektif mampu menjadikan para muridnya berkembang secara efektif. Ini berlaku untuk semua siswa dengan berbagai jenjang prestasi, tidak peduli seberapa majemuk ragam anak-anak di kelas. Jika di kelas banyak anak yang gagal mengembangkan kemampuannya secara efektif, berarti guru tidak mampu mengelola kelas. Bahkan bisa lebih dari itu, yakni tidak mengenali para muridnya dengan baik.
Catatan ini menunjukkan bahwa, kegiatan belajar-mengajar yang efektif sangat sulit terjadi apabila guru tidak mampu mengelola kelas dengan baik. Jika murid banyak yang menunjukkan perilaku menyimpang atau antar murid tidak ada rasa saling hormat, tak ada aturan dan prosedur yang dihormati sebagai panduan perilaku, dan rasa persahabatan antar siswa sangat rendah, maka kekacauan di kelas akan menjadi hal yang wajar. Dalam situasi seperti ini, kata Marzano dalam bukunya yang bertajuk Classroom Management That Works (2003), baik guru maupun murid sama-sama menderita. Guru harus berjuang mati-matian untuk mengajar, dan murid hampir pasti belajar jauh lebih sedikit daripada yang seharusnya mereka lakukan.
Berbagai riset menunjukkan bahwa anak-anak yang kemampuan matematikanya rendah dengan skor 50% ke bawah, meningkat pesat kemampuannya setelah 2 tahun jika ia belajar di sekolah yang efektif dan guru yang juga efektif. Sedangkan anak-anak yang belajar di sekolah rata-rata dengan kemampuan guru mengelola kelas yang juga rata-rata, tidak mengalami perubahan apa pun setelah dua tahun. Tetap saja kemampuannya tidak berkembang dengan baik. Sementara anak-anak yang belajar di sekolah yang tidak efektif dan –celakanya—memperoleh guru yang juga tidak efektif, justru makin lama makin bodoh. Semakin lama ia bersekolah semakin terpuruk prestasinya, semakin tidak mampu ia mengembangkan potensinya.
Pelajaran apa yang bisa kita petik? Setiap anak bisa mengembangkan kemampuannya. Mereka bisa meraih sukses jika memperoleh bimbingan dari guru yang baik; guru yang mampu menjalin hubungan akrab dengan muridnya secara bermartabat, bisa membangkitkan tanggung jawab murid bagi kelangsungan pembelajaran yang penuh semangat, tegas dalam menegakkan disiplin sekaligus dapat melakukan intervensi disiplin secara ketat di kelas, mampu membuat aturan dan prosedur kelas yang menjadi panduan bagi siswa dalam berperilaku, serta memiliki kecakapan membangun sikap mental yang tepat bagi muridnya maupun dirinya sendiri.
Saya perlu menggarisbawahi masalah kemampuan menjalin hubungan akrab secara bermartabat. Apa yang perlu kita perhatikan di sini? Selain terampil menjalin keakraban dengan siswa, yang tidak boleh ditawar-tawar adalah keharusan menjaga batas antara murid dan guru. Akrab dan bersahabat (friendly) memang harus, tetapi harus diingat bahwa guru adalah seorang pendidik dan pembimbing yang bertugas memberi arahan. Ada garis tegas yang perlu diperhatikan agar murid tetap memiliki tata-krama yang baik. Harry K. Wong & Rosemary T. Wong bahkan mengingatkan dalam bukunya yang berjudul How to Be an Effective Teacher: The First Days of School. Buku yang berisi panduan tentang apa yang harus dilakukan oleh guru pada bulan-bulan pertama di sekolah ini menegaskan bahwa setiap guru harus akrab, peduli, penuh cinta, dan sekaligus peka terhadap murid. Tetapi mereka bukanlah teman. Guru harus mampu menjalin hubungan yang bersahabat, tetapi tetap bukan teman yang membuat murid kehilangan tata-krama.
Apa artinya? Menjadi guru efektif yang membuat setiap murid mampu meraih sukses, bukan hanya soal kompetensi. Guru memang harus menguasai bidang studi yang diajarkan. Bukan hanya menang semalam, yakni sekadar belajar lebih awal daripada muridnya. Guru juga harus terampil mengajar. Sangat mumpuni dalam bidang yang diajarkan tetapi tidak mampu menyampaikan dengan baik dan kurang mampu menerangkan secara komunikatif, juga akan berakibat murid mengalami kesulitan belajar. Mereka menjadi bodoh bukan karena tidak memiliki potensi untuk menguasai pelajaran dengan baik, tetapi karena guru gagal dalam memahamkan murid.
Itu sebabnya, kriteria ketuntasan minimal (KKM) dapat dipandang dari dua arah. Pertama, KKM adalah standar minimal yang harus dicapai oleh murid. Jika ada yang tidak mampu mencapai KKM, maka kesalahan sepenuhnya dapat ditimpakan kepada murid dan orangtua. Cara pandang inilah yang banyak dianut sekolah-sekolah kita di negeri ini. Kedua, KKM merupakan target kemampuan murid yang harus dibangun oleh guru. Jika ada murid yang gagal memenuhi KKM, maka guru melakukan evaluasi caranya mengajar dan menangani murid. Cara pandang inilah yang diterapkan di sekolah-sekolah efektif, sehingga guru terbiasa melakukan penilaian, evaluasi, dan meneliti tindakannya di kelas. Ia berusaha menemukan sebab setiap masalah. Apalagi jika jumlah murid yang bermasalah, misalnya gagal memenuhi KKM, merupakan mayoritas.
Tetapi, sekali lagi, penguasaan materi yang baik serta keterampilan mengajar bukan aspek utama yang menjadikan seseorang sebagai guru efektif. Ada aspek lain yang lebih mendasar, yakni motivasi, integritas, dan komitmen. Yang disiplinnya rendah misalnya, meskipun mampu mengajar secara menarik, tetapi mereka tidak patut menjadi guru olah raga. Apalagi guru motivasi. Yang integritasnya rendah, jangan pernah mengambil u pelajaran akidah-akhlak karena keduanya –akidah maupun akhlak—bukan urusan kognitif semata. Ia adalah bagian dari sikap hidup yang harus menyatu dalam setiap helaan nafas kita.
Alhasil, ada yang perlu kita perhatikan. Setiap sekolah perlu memberi perhatian serius untuk meningkatkan kemampuan guru dalam mengajar. Tetapi ini tidak cukup. Pada saat yang sama, harus ada usaha serius untuk meningkatkan secara terus-menerus kualitas pribadi setiap guru, baik yang berkaitan dengan motivasi, iman, akhlak, komitmennya terhadap agama maupun pendidikan, serta integritas pribadi. Ini semua sangat penting untuk memastikan agar setiap murid mampu meraih sukses. Lebih-lebih untuk sekolah Islam yang telah menyatakan sikap bahwa agama ini yang menjadi ruh dari seluruh kegiatan yang ada di sekolah, peningkatan kualitas pribadi setiap guru tak dapat ditawar-tawar lagi.
Setiap wali murid juga perlu memperhatikan ini sebab di tangan para guru itulah kita serahkan masa depan anak-anak kita!
Box (inspiring word): Harus ada usaha serius untuk meningkatkan secara terus-menerus kualitas pribadi setiap guru, baik yang berkaitan dengan motivasi, iman, akhlak, komitmennya terhadap agama maupun pendidikan, serta integritas pribadi. Ini semua sangat penting untuk memastikan agar setiap murid mampu meraih sukses. Lebih-lebih untuk sekolah Islam yang telah menyatakan sikap bahwa agama ini yang menjadi ruh dari seluruh kegiatan yang ada di sekolah, peningkatan kualitas pribadi setiap guru tak dapat ditawar-tawar lagi.
SUARA HIDAYATULLAH, MARET 2011

Ada Kemudahan dalam Kesulitan

”Sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan.” (Al Insyiroh [94]: 5-6).
Pasti Terjadi
Dalam menjalani kehidupannya, manusia akan mendapati situasi enak atau tak enak, sebagai ujian Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT). Apapun situasinya, nyaman atau tak nyaman, itu yang terbaik dalam skenario Allah SWT.
Jika kita sedang berada disituasi sulit, Allah SWT mengingatkan janji-Nya, sebagaimana disebut ayat di atas. ”Sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan.”
Menurut As-Suyuthi, Alam Nasyrah ayat 1 – 8 turun ketika kaum musyrikin memperolok-olok kaum Muslimin karena kekafirannya. Sementara, dalam suatu riwayat Ibnu Jarir yang bersumber dari Al-Hasan, dikatakan bahwa ketika turun ayat “Sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan” (Alam Nasyrah [94]: 6), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) bersabda, “Bergembiralah kalian, karena akan datang kemudahan bagi kalian. Kesusahan tidak akan mengalahkan dua kemudahan.”
Janji Allah “Sesungguhnya, bersama kesulitan ada kemudahan” itu diulangi-Nya dua kali. Padahal, janji Allah pasti benar (Faathir [35]: 5) dan pasti terjadi (Al-Mursalaat [77]: 7).
Sebagian Bukti
Kisah Buya Hamka, Sayyid Quthb, dan Ibnu Taimiyah dapat kita jadikan rujukan. Hamka melahirkan karya tulis lebih dari 115 judul dalam berbagai bidang. Tafsir Al-Azhar adalah karya paling utamanya dan terbesar.
Sekitar awal 1964 Hamka ditahan rezim Orde Lama dengan tuduhan subversi, sebuah tuduhan yang sampai dia bebas dua tahun empat bulan kemudian tak pernah bisa dibuktikan secara hukum.
Hamka berkisah tentang pengalamannya dihari-hari pertama dia ditahan, “Kalau saya bawa bermenung saja kesulitan dan perampasan kemerdekaan saya itu, maulah rasanya diri ini gila. Tetapi, akal terus berjalan, maka ilham Allah datang. Cepat-cepat saya baca al-Qur’an, sehingga pada lima hari penahanan yang pertama saja, tiga kali al-Qur’an khatam dibaca.”
Lalu, Hamka atur jam-jam buat membaca dan menulis Tafsir al-Qur’an. Maka, menyusul kekacauan politik yang disebabkan Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia, pada Mei 1966 Hamka dibebaskan. Saat itu, dia telah mengkhatamkan al-Qur’an 150 kali, dan selesai pula tafsir 28 juz. Sementara, yang dua juz yaitu juz 18 dan 19 telah diselesaikannya sebelum dia ditahan.
Maka, Hamka, meninggal pada 1982, berhak menasihati kita, bahwa hendaknya kita “Jangan gentar menghadapi kesukaran, karena dalam kesukaran itu pasti ada kemudahan, asal kita mempergunakan otak buat memecahkannya. Sungguh, Allah tidak akan mengecewakan orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Di Mesir, ada Sayyid Quthb (lahir 1903) dan hafal al-Qur’an sejak masih anak-anak. Dia aktivis Ikhwanul Muslimin yang penuh semangat. Dia dipenjara rezim Gamal Abdel Nasser, sebelum akhirnya syahid dihukum mati pada 20 Agustus 1966.
Apa “kesalahan” dia? Saat Sayyid Quthb menulis sejumlah buku seperti Ma’aalim fit-Thariq (Petunjuk Jalan), 1964, yang berisi penolakan terhadap kebudayaan jahiliyah modern dalam segala bentuknya. Rezim Gamal Abdel Nasser yang menganut sosialisme Arab memandang itu sebagai sebuah kesalahan besar.
Dalam buku Ma’aalim fit-Thariq, Sayyid Quthb mengemukakan gagasan tentang perlunya revolusi total, bukan semata-mata pada sikap individu, namun juga pada struktur negara. Selama periode inilah, logika konsepsi awal negara Islamnya Sayyid Quthb mengemuka. Buku inilah yang dijadikan bukti utama dalam sidang yang menuduhnya bersekongkol hendak menumbangkan rezim Nasser.
Tafsir Fi Zhilalil Qur’an (Di Bawah Lindungan Al-Qur’an) diselesaikan Sayyid Quthb saat berada di penjara. Dan, Hamka mengaku, bahwa tafsir Fi Zhilalil Qur’an “Banyak mempengaruhi saya dalam menulis Tafsir Al-Azhar.”
Selain Hamka, banyak ulama yang menilai Tafsir Fi Zhilalil Qur’an sebagai salah satu tafsir terbaik. Hujjah-nya kuat meneguhkan iman. Bahasanya indah menyejukkan hati. Pendek kata, tafsir itu mampu menggelorakan spirit iman, hijrah, dan jihad.
Jauh sebelum Hamka dan Sayyid Quthb, ada Ibnu Taimiyah yang lahir 1263 dan meninggal 1328. Masa hidupnya banyak dihabiskan di Damaskus. Dia bukan saja pernah tapi bahkan sering merasakan ‘manis’-nya penjara, karena sejumlah pendapat keagamaannya berbeda dengan yang dianut ulama-ulama lain yang dekat dengan penguasa ketika itu.
Ibnu Taimiyah –yang saat berusia dua puluh tahun telah bergelar profesor di bidang hukum dalam mazhab Imam Hanbali- berkali-kali dipenjara sebelum akhirnya syahid di dalamnya. “Kesalahan” dia, hanya karena perbedaan dalam memahami atau menafsiri al-Qur’an. Padahal, lewat fatwa-fatwanya, Ibnu Taimiyah berniat memurnikan ajaran Islam dari unsur-unsur yang datang dari luar Islam dan tak sesuai dengan Islam. Dia hendak memurnikan Islam dari segala bid’ah dan khurafat.
Tentu saja, di antara karya-karya besarnya (dari total 500-an judul karya tulisnya) lahir di penjara. Sebab, di penjara, Ibnu Taimiyah memiliki banyak kesempatan untuk membaca dan menulis. Hal itu, hikmah besar baginya. Maka, dia tak pernah sedih atau menyesal atas apa yang dialaminya. Hal itu, diyakininya sebagai ketentuan Allah yang tak boleh dibantah, karena di dalamnya terdapat banyak kebaikan yang akan didapat.
Ajaib, dan Benar!
Hamka, Sayyid Qutb, dan Ibnu Taimiyah adalah sedikit contoh manusia beriman yang merasakan bukti keajaiban janji Allah bahwa bersama kesulitan ada kemudahan. Juga, bukti kebenaran sabda Nabi Muhammad SAW. Ada keajaiban yang dimiliki orang beriman. Yaitu, bahwa sesungguhnya semua persoalannya serba baik. Dan, hal itu hanya dimiliki oleh orang yang beriman. Jika dia mendapat kesenangan, dia bersyukur. Dan, hal itu menambah kebaikan (pahala) baginya. Namun, bila dia ditimpa bencana/musibah, dia akan sabar. Dan, itu berarti kebaikan (pahala) baginya.” (Riwayat Muslim).
Rasulullah SAW kerap membuktikan sendiri. Misalnya, saat beliau bersembunyi di Gua Tsur dalam hijrahnya dari Mekkah ke Madinah. Abu Bakar yang sempat mengkhawatirkan keselematan Nabi Muhammad SAW, sempat bersedih. Lalu, Muhammad SAW meneguhkannya, dengan bersabda: “…..Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita..,” (At-Taubah [9]: 40).
Subhanallah! Kaum musyrikin pengejar Rasulullah SAW yang sempat mengepung di sekitar mulut gua menjadi terkecoh atas fakta-fakta yang tergelar di depan mereka. Di pintu gua, ada sarang laba-laba dan ada dua burung dara plus telurnya. Di pintu gua, ada ranting-ranting pohon. Sehingga, para pengejar berkesimpulan bahwa tak mungkin Muhammad masuk dan bersembunyi di gua, tanpa melewati pintu gua dengan terlebih dahulu membersihkan rintangan-rintangan tadi.
Senyum, Senyum!
Semua manusia di sepanjang kehidupannya pasti akan menjalani ujian demi ujian. Kesulitan yang dihadapinya adalah ujian, sebagaimana kemudahan yang ditemuinya pun merupakan ujian.
Jika kesulitan sedang melilit kita, hadapilah dengan sabar dan tawakkal. Yakinilah, bahwa bersama kesulitan pasti ada kemudahan. Bukankah di sekitar kita, telah cukup banyak contoh-contoh yang transparan tentang hal itu? Maka, tetaplah tebarkan senyum di sepanjang langkah kehidupan kita, sebagai perlambang bahwa kita (akan) selalu lulus ujian. Allahu-Akbar! *M. Awar Djaelani/Suara Hidayatullah APRIL 2008

Menghadapi Kesulitan

“Ya Allah, aku sangat mengharapkan curahan rahmat-Mu, maka janganlah Engkau menyerahkan sekejap mata pun pada diriku ini kemudharatan, dan baguskanlah segala keadaan bagiku. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah, melainkan Engkau.” (Riwayat Abu Dawud dan Ahmad).
“Ya Allah, tidak ada yang mudah selain yang Engkau mudahkan, dan Engkau jadikan kesusahan itu mudah, jika Engkau menghendaki menjadi mudah.” (Riwayat Ibnu Hibban dan Ibnu Sunni). SUARA HIDAYATULLAH MEI 2008
Sumber: Doa yang Didengar Allah halaman 417 dan 420.

Hidayatullah.com - Ingin Sehat? Tirulah Cara Nabi


Ingin Sehat? Tirulah Cara Nabi
Senin, 15 Agustus 2011

MODERNISASI memang memberikan banyak kemudahan dalam urusan kehidupan manusia. Semua menjadi serba lebih cepat, lebih praktis, dan tentu lebih efisien. Tetapi modernisasi tetap bukan sesuatu yang tanpa kelemahan.
Modernisasi dalam beberapa hal justru telah membuat kewalahan, lebih tepatnya tidak mampu menangani masalah yang lebih esensial. Di antaranya masalah kesehatan, baik itu kesehatan jasmani ataupun kesehatan ruhani.
Walaupun teori kesehatan kian berkembang dan terus berusaha menemukan solusi agar penyakit jauh dari kehidupan manusia, faktanya kian hari orang kian mudah terkena penyakit. Bukan sekedar penyakit jasmani tetapi ruhani sekaligus.
Lihat saja di sekitar kita, setiap hari selalu saja ada orang yang mengeluh kena sariawan, perut kembung, sesak nafas, pinggang encok, dan lain sebagainya. Bahkan penyakit yang dulu hanya diderita orang-orang tertentu; kencing manis, ginjal, sakit jantung, keracunan makanan, kini sudah mengakrabi hampir seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai usia.
Artinya semakin modern, ternyata masalah juga tidak sedikit. Penyakit kian banyak dan kian ganas menyerang siapa saja.
Atas fakta ini, seorang ilmuwan kontemporer, Fritjof Capra mengaku heran dengan era sekarang ini (modernisasi).
Melalui bukunya, “Titik Balik Peradaban” ia mengemukakan, dunia sekarang ini sungguh sangat aneh, para ahli yang seharusnya mahir dan memahami bidang kajian mereka justru sekarang juga tidak lagi mampu menyelesaikan masalah-masalah mendesak yang muncul dalam bidang yang menjadi perhatian mereka.
Ekonom gagal memahami inflasi; onkolog sama sekali bingung tentang penyebab-penyebab kanker; psikiater dikacaukan oleh schizophrenia; demikian juga polisi tidak berdaya menghadapi kejahatan yang terus meningkat.
Khusus problem kesehatan, lebih jauh Capra menuliskan bahwa manusia modern terancam oleh polusi air dan makanan. Kedua jenis konsumsi manusia ini telah tercemar oleh berbagai macam bahan kimia beracun.
Menurutnya, di Amerika Serikat, bahan-bahan tambahan makanan sintetis, pestisida, plastik, dan bahan-bahan kimia yang beredar di pasar-pasar diperkirakan mencapai seribu macam senyawa kimia baru setiap tahunnya. Artinya racun kimia telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia.
Jadi, tidak mengherankan, mengapa orang di era modern ini cukup rentan terserang penyakit. Tidak saja mereka yang sudah tua, yang muda pun dalam situasi siaga bahkan anak-anak pun terbilang harus ekstra dijaga.
Penyakit mengancam tiap saat
Mengapa penyakit menjadi begitu dekat dengan manusia dan mengancam setiap saat?
Ada banyak faktor yang memicu terjadinya hal tersebut. Mulai dari cara pandang pragmatis para pengusaha makanan, pola hidup serba instan di masyarakat, sampai pada tahap dimana orang sudah mulai kurang peduli dengan syari’at agama dalam hal makanan.
Baru-baru ini (11/08/2011) Pusat Data Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PDPERSI) melaporkan bahwa, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merilis, sebanyak 1.416 item makanan olahan yang beredar di pasaran tidak memenuhi persyaratan. Ironisnya, total produk tersebut mencapai sekitar 73.293 kemasan.
Dari sisi pola makan, masyarakat juga sudah banyak yang menerapkan pola makan tidak sehat. Seperti makan tanpa diawali dan diakhiri dengan doa, bahkan sambil berjalan, selain itu juga masih banyak yang tidak membiasakan cuci tangan.
Dunia medis modern mengatakan bahwa, cara makan yang baik ialah dengan cara duduk dan tenang. Hal itu memungkinkan tubuh mengarahkan energi menuju proses makanan yang sedang dicerna. Enzim pencernaan juga akan bekerja dalam kondisi menyenangkan.
Untuk lebih sempurnanya proses pencernaan, hendaklah disisihkan waktu setidaknya sepuluh menit untuk makan dalam suasana rileks. Sambil kita terus-menerus memperbanyak dzikir, betapa nikmat Allah begitu besar pada diri kita. Ditinjau dari sisi adab, makan dengan cara duduk dan tidak terburu-buru menunjukkan satu akhlak yang baik.
Padahal Rasulullah saw telah memberikan contoh 14 abad lalu, sebelum dunia kedokteran merilis bahwa makan harus duduk, tenang dan tidak terburu-buru. Islam bahkan mengajarkan untuk memulakan dengan do’a. Demikian pula dalam hal kebersihan.
Makan Ala Nabi
Untuk menjaga kesehatan atau terhindar dari penyakit, makanan memang faktor paling kasat mata yang harus diperhatikan. Namun yang sangat menentukan selain jenis makanan itu sendiri, cara makan pun sangat perlu untuk diperhatikan.
Oleh karena itu nabi pun punya tips bagaimana kegiatan makan yang merupakan kebutuhan pokok manusia itu betul-betul optimal mendatangkan kesehatan dan tidak mendatangkan dampak negatif.
Pertama, pastikan makanan yang didapatkan adalah halal dan baik serta tidak mengandung unsur-unsur yang haram.
وَكُلُواْ مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّهُ حَلاَلاً طَيِّباً وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِيَ أَنتُم بِهِ مُؤْمِنُونَ
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS: Al Maidah: 88).
Jangan lupa untuk selalu meniatkan makan dan minum untuk menguatkan badan, agar dapat melakukan ibadah, dan hal-hal lain yang berguna agar dapat menjadi insan yang muttaqin.
Kedua, makan sesudah lapar dan berhenti sebelum kenyang. "Kami adalah sebuah kaum yang tidak makan sebelum lapar dan bila kami makan tidak terlalu banyak (tidak sampai kekenyangan).” (Muttafaq Alaih).
Dunia modern dikejutkan dengan satu ‘penyakit’ baru, yakni obesitas. Kelebihan berat badan jika dibiarkan akan mengundang lebih banyak penyakit. Dan, obesitas ini tentu mulanya walaupun tidak semua, sering bermula dari kebiasaan makan secara berlebihan. Oleh karena itu makanlah secukupnya dan jangan berlebihan.
Ketiga,mencuci kedua tangan sebelum makan, jika dalam keadaan kotor atau ketika belum yakin dengan kebersihannya. “Apabila Rasululllah Sholallahu Alaihi Wassalam hendak tidur sedangkan Beliau dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu terlebih dahulu dan apabila hendak makan, beliau mencuci kedua tangannya terlebih dahulu.” (HR. Ahmad)
Sehat Ala Nabi
Dalam pandangan Islam, kesehatan bukan saja jasmani, tetapi juga ruhani. Untuk apa sehat badan kalau imannya kropos? Tentu sangat baik jika badan kuat iman juga sehat.
Makanan bukan satu-satunya penyebab munculnya berbagai macam penyakit. Meskipun umumnya beragam penyakit jasmani banyak ditimbulkan oleh makanan.
Satu hal yang tidak kalah penting terbukti efektif dalam meminimalisir mudahnya penyakit menyerang kita adalah keyakinan dan kemauan yang kuat untuk menerapkan syariat agama yang telah dicontohkan oleh nabi kita.
Meskipun kita telah mengonsumsi makanan penuh gizi, olahraga teratur, tetapi mental kita bermasalah, sering marah, suka ngomel, dan paling senang mendengki orang lain. Dapat dipastikan kita akan jauh dari kehidupan yang bahagia, sehingga rentan terhadap berbagai macam penyakit (biasanya darah tinggi), utamanya penyakit ruhani yang pada akhirnya akan berdampak signifikan terhadap kesehatan jasmani.
Islam sebagai ajaran yang bersifat tauhidi, tidak pernah memberatkan satu aspek lalu mengabaikan aspek yang lain. Seorang dikatakan sehat dalam perspektif Islam tidak semata bugar raganya, namun juga prima imannya, baik perangainya dan mulia akhlaknya.
Bagaimana agar kita bisa sehat jiwa raga? Berikut langkah-langkahnya;

Pertama, bangun sebelum shubuh atau dini hari untuk qiyamul lail. Bagi anda yang pelajar/mahasiswa anda bisa menulis di waktu yang hening itu. Lebih afdhal juga jika anda bangun sholat dan berdoa. Sebab doa pada waktu malam kemungkinan terkabulkannya cukup besar. Dan, lakukanlah sholat Shubuh secara berjama’ah di masjid.
Jika rumah anda terbilang agak jauh dari masjid, kondisi tersebut sungguh sangat menguntungkan. Anda bisa jalan kaki ke masjid. Jadi, selain mendapat pahala yang jauh lebih besar, anda juga bisa sekaligus berolahraga sambil menikmati sejuknya udara di pagi hari.
Jika anda rutin melakukannya, jalan kaki akan menjadikan peredaran darah lebih teratur, dan darah akan sampai dalam jumlah yang besar ke pembuluh-pembuluh darah yang ada di seluruh tubuh, sehingga dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan banyak keletihan yang disebabkan oleh kurangnya suplai darah di seluruh sudut tubuh pada beberapa penyakit.
Kedua, sebisa mungkin jangan mudah emosi atau mudah marah. Rasullullah saw, memperingatkan kita, "Jangan marah, jangan marah, jangan marah." Ini menunujukkan bahwa hakikat kesehatan dan kekuatan Muslim bukanlah terletak pada jasadiyah belaka, tetapi lebih jauh yaitu dilandasi oleh kebersihan dan kesehatan jiwa.
Jika anda termasuk tipe orang yang suka marah, atau mudah terpancing emosi lalu marah, Rasulullah saw memberikan tips berikut ini;
1. Mengubah posisi ketika marah, bila berdiri maka duduk, dan bila duduk maka berbaring
2. Membaca ta 'awwudz, karena marah itu dari syaithan
3. Segeralah berwudhu dan lakukanlah sholat dua rakaat untuk meraih ketenangan dan menghilangkan kegundahan hati
Ketiga, jangan mendengki saudara Muslim yang lainnya. Gembira jika saudaranya tertimpa musibah dan bersedih jika suadaranya mendapat berkah merupakan sikap yang tercela dan bisa menghanguskan pahala kebaikan kita sendiri.
“Waspadalah terhadap hasud (iri dan dengki), sesungguhnya hasud mengikis pahala-pahala sebagaimana api memakan kayu.” (HR. Abu Dawud)
Keempat, senantiasa berdoa kepada Allah SWT agar diberikan kesehatan. Rasulullah saw berwasiat kepada kita, “Mohonlah kepada Allah keselamatan dan afiat. Sesungguhnya tiada sesuatu pemberian Allah sesudah keyakinan (iman) lebih baik dari pada sehat afiat.” (HR Ibnu Majah).
Kelima, perbanyaklah puasa.
Suatu kali, penulis bertemu dengan seorang pengurus masjid di kawasan Grogol Jakarta Barat. Usianya sudah lebih dari 70 tahun, tetapi fisiknya masih kuat. Dia mampu membersihkan masjid dan naik turun tangga setiap hari.
Tatkala ditanya, apa rahasianya, jawabannya cukup singkat, “Kosongkan perutmu dua kali seminggu dan perbanyaklah minum air disertai doa. Mesin saja kalau tidak diservice bisa rusak," begitu jawabnya sederhana. Subhanallah.
Benar, puasa dan doa adalah salah satu cara menservice fisik manusia supaya tetap bugar. Nabi pernah berpesan, dalam amalan puasa, terkandung banyak manfaat kesehatan. ”Puasalah kamu niscaya kamu akan sehat selalu.”
Dengan memperhatikan dan berupaya menerapkan cara hidup nabi dalam kesehariannya, Insya Allah bukan saja fisik kita akan sehat, jiwa kita pun akan selalu terawat.
Jadi, mari kita mulai meneladani hidup nabi sekarang juga. Wallahu a’lam.*/Imam Nawawi
Red: Cholis Akbar

Hidayatullah.com - Jadilah Figur Teladan Anak Kita

Hidayatullah.com - Jadilah Figur Teladan Anak Kita

Jadilah Figur Teladan Anak Kita

Kamis, 18 Agustus 2011

SETIAP keluarga tentu sangat menginginkan putra-putrinya menjadi anak yang cerdas, sholeh dan sholehah. Tetapi upaya itu kini tidak mudah, sebab kultur masyarakat di luar memiliki daya pengaruh yang jauh lebih besar. Apalagi jika kedua orangtua terbilang cukup sibuk dengan rutinitas hariannya.

Sebagian keluarga memang berhasil mempertahankan spirit untuk mencerdaskan anak-anaknya. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari mengisolir anak dari budaya nonton TV, bermain game, atau memasukkannya ke sekolah full day, pesantren dan lainnya.

Tetapi tidak sedikit yang kandas bahkan larut. Booming informasi, teori pembelajaran dan perangkat belajar yang katanya dapat memberikan kontribusi percepatan kecerdasan seringkali diadopasi begitu saja, sehingga mereduksi kepekaan orangtua dalam upaya kontrol terhadap buah hatinya.

Lahirnya berbagai teknonologi informasi, mau-tak mau melahirkan gaya hidup baru bagi remaja. Para buah hati, asik dan enjoy dengan perkembangan teknologi yang melahirnya budaya liar.

Muncullah anak-anak berkepribadian ganda. Di dalam rumah dia sangat ramah, santun bahkan mungkin tergolong rajin. Namun ketika bergaul di luar rumah, sifat positif di dalam rumah seketika lenyap dan jadilah dia anak yang sepertinya tak pernah diajari tentang nilai-nilai kebaikan.

Berita cukup mengagetkan, gara-gara Facebook, banyak gadis di Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta hamil di luar nikah.

Banyak orangtua tak menyadari. Bermula dari Facebook, para remaja kemudian chatting, tukar nomor hand-phone, selanjutnya janji bertemu.

Sayang, masih saja kita jumpai orangtua mengatakan, “Ah, nanti kalau sudah dewasa pasti ngerti sendiri.”

Padahal, atas alasan seperti itu tidak bisa dibenarkan. Sebab secara hakikat potensi akal tanpa disadari telah dipenjara dalam ruang hampa dan membiarkan buah hati besar dalam didikan yang tidak jelas dinamikanya. Hal ini sungguh sangat berbahaya.

Jika orangtua tidak waspada, apalagi membiarkan anak-anak kita berinteraksi dengan gelombang besar informasi globalisasi yang destruktif, maka sama halnya kita sedang menyodorkan sesuatu yang kita cintai pada segerombolan srigala.

Oleh karena itu, kita harus menyadari bahwa sekolah dan guru hanyalah membantu kita untuk mencerdaskan buah hati. Namun tugas ituma justru ada pada orangtua untuk mendisik dan mengawal buah hatinya.

Figur Teladan dan Mencintai al-Quran

Pepatah mengatakan, “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.” Artinya anak akan berperilaku sebagaimana teladan yang ditampilkan oleh kedua orangtuanya.

Sejak lahir anak akan memperhatikan perilaku kedua orangtuanya. Oleh karena itu, cara efektif yang perlu dilakukan oleh orangtua adalah berusaha menjadi figur yang baik.

Menampilkan uswah (keteladanan) dan sebisa mungkin tidak menampilkan sikap diri yang kurang baik atau negatif.

Selain itu, pesan penting yang Rasulullah saw wasiatkan kepada umatnya ialah agar berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan sunnah beliau.

Dalam penuturan Dr. Ir. Muhammad al-Husaini Ismail, seorang intelektual Mesir yang sempat mengalami keguncangan pemikiran dan kemudian memilih untuk istiqomah dalam keimanan menyatakan bahwa, “Di hadapan al-Qur’an akal dan kemampuan manusia tak lebih dari segerombolan para kurcaci.”

Artinya seluruh persoalan yang dihadapi manusia, al-Qur’an memberikan solusi. Selanjutnya bergantung pada manusia itu sendiri, mau mempelajarinya atau tidak.

Pernyataan tersebut sudah cukup mewakili bahwa setiap keluarga muslim wajib mencintai al-Qur’an. Mencintai dalam hal ini ialah senantiasa membudayakan iqra al-Qur’an (membaca al-Qur’an, memahami, mengamalkan dan berusaha mengajarkan kepada yang lain). Dengan demikian maka kita bisa menjadi seorang Muslim yang benar-benar hidup dengan al-Qur’an sebagai pedoman.

Iringilah dengan doa

Seorang Muslim yang baik tentu tidak pernah lepas dari budaya menghamba kepada Allah SWT. Doa bukan sekedar pelengkap keimanan, justru doa itulah senjata utama setiap muslim. Dalam al-Qur’an dijelaskan betapa seriusnya para nabi berdoa. Sembari berusaha para nabi tak pernah jemu berdoa.

Nabi Ibrahim misalnya, dia adalah nabi yang senantiasa berdoa agar Allah menganugerahkan kecerdasan (berupa ketauhidan dan kesholehan) bagi keturunannya.
“Wahai Rabb kami, jadikanlah kami berdua (Nabi Ibrahim dan putranya Ismail) orang-orang yang berserah diri kepada-Mu dan jadikanlah pula keturunan kami sebagai orang-orang yang berserah diri kepada-Mu." (QS.2: 128 ). Beliau juga berdoa: "Wahai Rabbku, jadikanlah aku dan keturunanku, sebagai orang-orang yang senantiasa mendirikan shalat. wahai Rabbku, kabulkanlah doaku." (QS. 14: 40).

Nabi ibrahim juga memohon kepada Alloh agar diri dan keturunan beliau dijauhkan dari kemaksiatan terbesar kepada Alloh, yaitu kesyirikan. Beliau memohon:

رَبِّ اجْعَلْ هَـذَا الْبَلَدَ آمِناً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ

"Dan jauhkanlah diriku beserta anak keturunanku dari penyembahan berhala." (QS. 14: 35).

Demikianlah pelajaran yang dapat kita petik akan urgensi sebuah doa. Sebab Doa memiliki peranan penting dalam kehidupan setiap manusia. Saatnya berlomba-lomba mencerdaskan dan mendidik anak-anak kita. Wallahu a’lam.*/Imam Nawawi


Red: Cholis Akbar

10 Agustus 2011

Berahlaq Yang Baik Dimanapun!

Berahlaq Yang Baik Dimanapun!

 
Senin, 30 Mei 2011

DALAM kehidupan sehari-hari, dapat dipastikan seorang manusia tidak dapat hidup seorang diri. Ia pasti butuh pertolongan dan bantuan orang lain. Dari rasa saling membutuhkan inilah timbul jalinan persaudaraan atau ukhuwah, pertemanan, dan lain-lain.
Dalam hubungannya dengan masalah ini, sifatnya ada yang langgeng dan tidak. Sebuah persaudaraan bisa langgeng jika didasari oleh keinginan untuk mencari ridha Allah. Sebaliknya, ia tidak akan bisa langgeng jika dasarnya bukan karena mencari ridha Allah.
Banyak orang yang berteman akrab hanya sewaktu ada kepentingannya saja. Namun ketika sudah tidak ada keuntungan yang bisa didapatnya, kenal pun tidak mau.
Misalkan seseorang senang ketika orang lain memberi sesuatu kepadanya, akan tetapi ketika sudah tidak diberi, kemudian berubah menjadi benci. Ada juga seseorang yang hanya hormat kepada orang kaya saja. Adapun kepada orang miskin, memandang pun tidak mau.
Hal-hal seperti itu semestinya tidak terjadi pada diri seorang Muslim. Sebab Islam telah memberi tuntunan yang jelas tata cara bergaul dan berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat. Hal yang paling penting yang diajarkan oleh Islam yaitu hendaknya setiap Muslim dalam melakukan pergaulan didasari oleh niat mencari ridha Allah.
Ketika seorang muslim tersenyum kepada saudaranya, maka itu semata-mata mencari ridha Allah, karena senyum merupakan perbuatan baik. Demikian juga ketika seorang Muslim membantu,  maka hendaknya diniatkan semata-mata untuk mencari ridha Allah.
Al-Imam Ibn Qayyim menjelaskan dalam kitab Zaadul Ma'ad juz ke-4 hal 249 : "Di antara kecintaan terhadap sesama Muslim ada yang disebut mahabbatun linaili gharadlin minal mahbud, yaitu suatu kecintaan untuk mencapai tujuan dari yang dicintainya. Bisa jadi tujuan yang ingin ia dapatkan dari kedudukan orang tersebut, atau hartanya, atau ingin mendapatkan manfaat berupa ilmu dan bimbingan orang tersebut. Atau  untuk tujuan tertentu; maka yang demikian itu disebut kecintaan karena tendensi. Atau karena ada tujuan yang ingin dicapai, kemudian kecintaan ini akan lenyap pula seiring dengan lenyapnya tujuan tadi. Karena itu sesungguhnya, siapa saja yang mencintaimu dikarenakan adanya suatu kepentingan, ia akan berpaling darimu jika telah tercapai keinginannya".
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan dalam  Majmu'Fatawa juz  10, beliau berkata: "Jiwa manusia itu telah diberi naluri untuk  mencintai orang yang berbuat baik kepadanya, namun pada hakekatnya sesungguhnya  hal itu sebagai kecintaan kepada kebaikan, bukan kepada orang yang telah  berbuat baik.Apabila orang yang berbuat baik itu memutuskan kebaikannya atau perbuatan baiknya, maka kecintaannya akan melemah, bahkan bisa berbalik menjadi kebencian.
Maka kecintaan demikian bukan karena Allah. Barangsiapa yang mencintai orang lain dikarenakan dia itu memberi sesuatu kepadanya, maka dia semata-mata cinta kepada pemberian. Dan barang  siapa yang mengatakan: "saya cinta kepadanya karena Allah", maka dia  pendusta. Begitu pula, barang siapa yang menolongnya, maka dia semata-mata mencintai pertolongan, bukan cinta kepada yang menolong. Yang demikian itu, semuanya termasuk mengikuti hawa nafsu.
Karena pada hakekatnya dia mencintai  orang lain untuk mendapatkan manfaat darinya, atau agar terhindar dari bahaya. Demikianlah pada umumnya manusia saling mencintai pada sesamanya, dan  yang demikian itu tidak akan diberi pahala di akhirat, dan tidak akan  memberi manfaat bagi mereka. Bahkan bisa jadi hal demikian itu mengakibatkan  terjerumus pada nifaq dan sifat kemunafikan."
Ucapan Ibn Taimiyah ini sesuai dengan firman Allah dalam surat  Az-Zukhruf 67, yang artinya: "Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang bertakwa."
Dari keterangan ini jelaslah bahwa hanya orang-orang bertakwa yang persahabatannya  akan langgeng sampai di alam  akhirat, karena didasari lillah dan fillah. Yaitu cinta karena Allah.
Sebaliknya, orang-orang yang tidak bertakwa, di akhirat nanti akan menjadi musuh satu sama lain.
Persahabatan mereka hanya berdasarkan kepentingan dunia. Dasar persahabatan mereka bukan karena dien, tetapi karena kepentingan  duniawi. Yaitu berupa ambisi untuk mendapatkan kekuasaan, harta dan sebagainya dengan tidak memperdulikan apakah cara yang mereka lakukan diridhoi  Allah, sesuai dengan aturan-aturan Islam atau tidak.
Sedang orang yang bertakwa dalam pergaulannya tentu didasari aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah sebagai uswah bagi kaum Muslimin telah telah memberikan tuntunan bagaimana adab-adab bergaul. Perkara tersebut merupakan bagian dari akhlakul karimah (akhlak yang mulia). Akhlak yang mulia itu sendiri merupakan bagian dari dienul Islam.
Berusaha Mengamalkan
Di antara bentuk adab bergaul yang dicontohkan Rasulullah, yaitu mengucapkan salam terlebih dulu, bertutur kata yang baik, menanyakan kabar, menengok orang sakit, memberi hadiah dan sebagainya.  Dengan melaksanakan adab-adab tersebut, kita akan memperoleh manfaat, yaitu berupa ukhuwah yang kuat di antara umat Islam. Ukhuwah yang kokoh yang dilandasi iman dan keikhlasan kepada Allah. Allah telah berfirman yang artinya:
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
"Dan berpegang teguhlah kalian denga tali (agama ) Allah bersama-sama , dan janganlah kalian bercerai-berai. Dan ingatlah nikmat Allah yang telah Allah berikan kepada kalian, ketika kalian dahulu bermusuh-musuhan, lalu Allah lunakkan hati-hati kalian sehingga dengan  nikmat-Nya, kalian menjadi bersaudara, padahal tadinya kalian berada di  tepi  jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian daripadanya. Demikianlah Allah menjelaskan kepada kalian ayat-ayatnya, agar kalian mendapat  petunjuk."  [Al-Imran : 103]

Oleh karena itu, adab-adab bergaul ini sangat perlu  dipelajari untuk  kita amalkan. Di antaranya kita harus mengetahui, bagaimana adab terhadap orangtua, adab terhadap saudara, adab terhadap istri, adab seorang istri  terhadap suaminya, adab terhadap teman sekerja atau terhadap atasan dan bawahan.
Dengan melaksanakan adab-adab tersebut insya-Allah kita akan dicintai Allah Yang Maha Pengasih. Karena di antara tanda-tanda seseorang dicintai Allah, yaitu jika dirinya dicintai olah orang-orang shalih, diterima oleh hati mereka. Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya Allah jika mencintai seorang hamba, Ia memanggil Jibril, "Sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah ia." Lalu  Jibril mencintainya dan menyeru kepada penduduk langit, "Sesungguhnya Allah mencintai si fulan, maka cintailah ia. "Maka (penduduk langit) mencintainya, kemudian menjadi orang yang diterima di muka bumi." [Hadits Bukhari dan Muslim)
Di antara sifat-sifat muslim yang dicintai oleh orang-orang shalih di muka bumi ini, di antaranya ia mencintai mereka karena Allah, berahlak kepada manusia dengan ahlak yang baik, memberi manfaat, melakukan hal-hal yang disukai manusia dan menghindari dari sikap-sikap yang tidak disukai manusia. Dalam al Qur'an Allah berfirman yang artinya: "Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik". [Ali-Imran: 134]
Rasulullah Saw bersabda yang artinya, "Bertakwalah engkau dimanapun engkau berada, Sertailah keburukan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus keburukan. Dan berakhlaklah kepada manusia dengan ahlak yang baik." [HR.Tirmidzi, ia berkata :Hadits hasan].* BU

Red: Cholis Akbar

Perlunya Mewaspadai Dosa Dosa Pengguncang Hati

Perlunya Mewaspadai Dosa Dosa Pengguncang Hati

 
Selasa, 17 Mei 2011

HAMPIR sebagian besar dari kita, mengenal dosa dan maksiat hanyalah hasil perbuatan  anggota tubuh. Perbuatan panca indra. Maksiat tangan dan kaki, mata dan telinga, lidah dan hidung, dan sebagainya. Pada intinya tidak jauh-jauh dengan syahwat perut dan kemaluan.

Pernahkah kita berfikir bahwa ada dosa dan maksiat yang sumbernya dari hati atau ‘qalb’. Yang tak nampak oleh mata, tak terdengar di telinga, tak tersentuh dengan tangan, tak tercium melalui hidung dan tak terasa di lidah.

Maksiat Anggota Tubuh

Mata bermaksiat melihat aurat. Telinga bermaksiat mendengar keburukan lisan, yang menurut Imam Ghazali mempunyai hampir 20 varian. Dusta, menggunjing, menggosip, mengejek, sumpah janji palsu, bicara yang tidak perlu, menfitnah, bersaksi palsu, meratap, memaki, melecehkan, dan lainnya.

Tangan bermaksiat dengan menindas, memukul tanpa hak, membunuh, bekerja sama dengan musuh Allah, menulis yang tidak seharusnya ditulis. Kaki bermaksiat dengan berjalan ke tempat yang diharamkan, menziarahi orang zalim, safar dalam kezaliman. Kemaluan bermaksiat dengan berzina, melakukan amalan kaum Luth, mendatangi perempuan dari tempat yang dilarang.

Perut bermaksiat dengan minum khamr (alkohol), memakan hasil riba, hasil judi, menjual sesuatu yang diharamkan, menyembunyikan barang di pasaran dengan harapan harga menjadi naik, menerima suap, dan lain sebagainya dari memakan harta orang lain dengan batil dan zalim.

Maksiat Yang Membinasakan
Sekali lagi dosa-dosa diatas masih masuk kategori dosa yang nampak dari hasil perbuatan anggota tubuh. Padahal, setiap muslim diperintahkan untuk menjauhi dosa yang nampak ataupun tidak. Allah SWT berfirman:
وذروا ظاهر الإثم وباطنه إن الذين يكسبون الإثم سيجزون بما كانوا يقترفون
Artinya: "Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan." (Al-An’Am ayat 120)

Sebenarnya, maksiat batin itu lebih dahsyat bahayanya dari maksiat zahir sebagaimana ketaatan hati itu lebih penting daripada ketaatan anggota badan. Bukankah, amalan anggota tubuh tidak akan diterima tanpa amalan hati yaitu niat yang ikhlas?
Maksiat hati itu; sombong, takabur, bangga diri, riya, cinta dunia, cinta harta, hasud, dengki, amarah, dan lain sebagainya yang dinamakan Imam Ghazali dengan “penghancur” sesuai dengan bunyi hadis:
ثلاث مهلكات: شح مطاع، وهوى متبع، وإعجاب المرء بنفسه
"Tiga muhlikat (penghancur) adalah: sifat kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti dan takjub terhadap diri sendiri."Dosa Hati Lebih Berbahaya
Dosa hati lebih berbahaya dibandingkan yang lainnya, karena:

Pertama, ia langsung berkaitan dengan hati. Qalbu adalah hakekat manusia itu sendiri. Manusia bukanlah sekedar makhluk terbungkus jasmani yang terbuat dari tanah. Hanya makan dan minum tetapi ia menyimpan satu mutiara yaitu ruh, yaitu kalbu, yaitu hati. Berkaitan dengan ini, Rasulullah SAW bersabda:
ألا إن في الجسد مضغة، إذا صلحت صلح الجسد كله، وإذا فسدت فسد الجسد كله؛ ألا وهي القلب
"Ketahuilah, bahwa di dalam jasad ada segumpal darah. Jika ia baik, maka akan baik seluruh tubuh, dan jika ia rusak, maka akan rusak seluruh tubuh. Ketahuilah, ia adalah hati."إن الله لا ينظر إلى أجسامكم وصوركم، ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم
"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada jasad dan bentuk kalian, tetapi Ia melihat pada hati dan amal perbuatan kalian."
Bahkan satu-satunya  jalan untuk sukses di kehidupan akhirat, adalah selamatnya hati dari penyakit yang membinasakannya. Allah SWT berfirman:
ولا تخزني يوم يبعثون يوم لا ينفع مال ولا بنون  إلا من أتى الله بقلب سليم
"dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (Asy-Syu’ara ayat 87-89)
Selamatnya hati yakni selamat dari kemusyrikan yang nampak ataupun yang tersembunyi. Selamat dari kemunafikan besar maupun kecil. Selamat dari rasa sombong, hasud, iri dengki dan lain sebagainya.
Ibnu Qoyyim berkata: “selamat dari lima perkara: dari syirik yang bertentangan tauhid, dari bid’ah yang melawan sunnah, dari syahwat yang melawan perintah, dari kelalaian yang melupakan zikir, dan dari hawa nafsu yang menghancurkan keikhlasan”.

Kedua, maksiat hati lebih bahaya karena ia langsung mengarahkan anggota tubuh yang lain untuk melakukannya.
Kufur misalnya, kadang kala didorong oleh rasa hasud didalam hati. Seperti yang terjadi pada kaum yahudi. Firman Allah:
ود كثير من أهل الكتاب لو يردونكم من بعد إيمانكم كفارا حسدا من عند أنفسهم من بعد ما تبين لهم الحق
"Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran." (QS. Baqarah ayat: 109)
Ia juga mendorong kepada kesombongan seperti yang terjadi pada diri Fir’aun dan pendukungnya:
وجحدوا بها واستيقنتها أنفسهم ظلما وعلوا فانظر كيف كان عاقبة المفسدين
"Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan." (QS. An-Naml: ayat 14)
Demikian pula hasud dan iri dengki dalam hati bahkan bisa membuat pelakunya tega menghabisi nyawa orang lain seperti yang terjadi pada kisah Habil dan Qabil:
إذ قربا قربانا فتقبل من أحدهما ولم يتقبل من الآخر قال لأقتلنك قال إنما يتقبل الله من المتقين
"Ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!." Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Maidah: ayat 27)

Ketiga, pada kebiasaanya, dosa dan maksiat yang zahir sebabnya adalah lemahnya iman dan sifat alpa sehingga pelakunya mudah untuk segera melakukan taubat. Berbeda dengan dosa akibat hati yang rusak.
Dosa yang dilakukan Adam as dan Hawa karena lalai dan termakan tipuan Iblis yang merayu untuk memakan buah khuldi yang dilarang. Oleh itu, mereka berdua segera menyadari kesalahan dan cepat-cepat meminta ampun pada Allah swt.
قالا ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين
"Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi." (QS: Al-A’raf ayat 23)
Akibatnya, Allah swt dengan mudah memaafkan dan menerima taubat mereka:
فتلقى آدم من ربه كلمات فتاب عليه إنه هو التواب الرحيم
"Keduanya berkata: Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah ayat 37)

Ini berbeda dengan Iblis. Dosa yang dilakukannya adalah dosa hati, yaitu abai pada perintah Allah dan menyombongkan dirinya.
قال يا إبليس ما منعك أن تسجد لما خلقت بيدي أستكبرت أم كنت من العالين قال أنا خير منه خلقتني من نار وخلقته من طين
"Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?." (QS. Shad ayat 75-76)
Oleh itu, balasan bagi Iblis adalah:
قال فاخرج منها فإنك رجيم وإن عليك اللعنة إلى يوم الدين
"Allah berfirman: "Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk, Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan." (QS. Shad ayat 77-78)

Keempat, ganjaran bagi pelaku maksiat hati lebih dahsyat daripada pelaku maksiat anggota tubuh.
Rasulullah saw bersabda:

لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقال ذرة من كبر
"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan walaupun seberat biji zarrah."Demikian pula Nabi SAW mengatakan “jangan marah” sebanyak tiga kali kepada sahabat yang meminta wasiat kepada beliau.

Salahuddin El Ayyubi. Bekerja di IPB (Institut Pertanian Bogor), dulu sekolah di Universiti Kebangsaan Malaysia

Jangan Pandang Sebelah Mata “Kekasih” Nabi

Jangan Pandang Sebelah Mata “Kekasih” Nabi

 
Selasa, 14 Juni 2011

SUATU hari Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam kedatangan seorang utusan kaum fuqara. Kepada baginda Nabi SAW dia berkata.” Ya Rasulullah, kami atas nama wakil para fuqara menghadapmu,” Jawab Nabi,” Selamat datang bagimu dan mereka, engkau datang mewakili orang-orang yang disenangi Allah.” Selanjutnya utusan itu bertanya,” Wahai Rasul pendapat di kalangan kami mengatakan, bahwa orang-orang kaya mampu melakukan segala amal baik: Ibadah hari dapat, sedangkan kami tidak; sedekah oke sedangkan kami untuk makan saja pas-pasan…
Rasulpun menjawab,” Sampaikanlah kepada mereka, bahwa jika mereka bersabar atas kefakiran maka akan memperoleh 3 pahala yang tidak diperoleh orang-orang kaya:

Pertama; kamar merah di surga, para penghuni surga melihatnya seperti masyarakat dunia melihat bintang di langit. Siapapun tidak boleh masuk ke dalamnya, kecuali Nabi, fakir, syuhada fakir, dan mukmin fakir.
Kedua, para fuqara-masakin lebih dulu masuk surga 500 tahun (waktu dunia) sebelum orang-orang kaya. Mereka bebas bergembira dan bersenan-senang di dalamnya.
Ketiga, bacaan tasbih, tahmid, takbir dan tahlil para fuqara-masakin jauh lebih unggul dibandingkan dengan bacaan orang-orang kaya, sekalipun mereka tambah dengan 1000 dirham. Demikian pula amal kebaikan lainnya. Kemudian wakil dari fuqara itu pulang dan menyambaikan kabar gembira dari Nabi SAW tersebut kepada rekan-rekan mereka.
Jawab mereka,” Kami rela ya Tuhan, dan kami sangat lega hati. “
Rasulullah bersabda, "Setiap orang memiliki hobi, sedang hobiku fakir dan jihad, barangsiapa senang keduanya berarti senang kepadaku, dan yang membencinya berarti pula membenciku.” (Riwayat Anas bin Malik)

Dalam satu kesempatan, tokoh dari Bani Fazarah, Uyainah Hishin, bertamu ke rumah Rasul. Secara kebetulan saat itu di sana ada tiga orang shahabt Nabi yakni: Salman Al Farisi, Shuhaib Sinan Ar Rummy dan Bilan Bin Rabbah. Ketiga orang tersebut mengenakan pakaian—yang menurut Fazarah buruk dan bau.
Uyainah berkata, ”Kami adalah bangsawan yang punya harga diri, lalu kami masuk. Mereka hendaknya dikeluarkan, karena bau mereka mengganggu kami.”
Lalu Allah menurunkan firman-Nya.
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً
Bersabarlah kamu bergaul dengan orang-orang yang selalu berdoa kepada Tuhan pagi-sore semata-mata hanya mengharap kerihdaan-Nya.” (Al-Kahfi: 28).
Dalam ayat tersebut Allah melarang orang berlaku seenaknya terhadap orang-orang yang sholeh walau kurang harta. Janganlah pandanganmu berpaling dari mereka, hanya karena menginginkan kemewahan dunia atau lantaran merasa diri kaya dan mampu. Bahkan setiap Muslim—sebagaimana hadits di atas—wajib menyenangi dan berbuat baik kepada fuqoro masakin, karena Allah dan Rasulnya telah menempatkan mereka pada tempat yang mulia.
Pada hari kiamat, seseorang dipanggil dan Allah berkata ramah/lunak kepadanya, seperti orang minta maaf, lalu firman-Nya,” Demi kemenangan dan keagungaan-Ku, harta dunia Ku-jauhkan darimu, bukan karena aku memandang hina kepadamu.
Tetapi hanya karena telah aku sediakan kemuliaan dan karunia bagimu. Keluarlah ke baarisan itu, cari orang yang pernah membantumu secara tulus ikhlas. Ajaklah mereka bersamamu, lalu ia mencarinya hingga ketemu orang-orang yang pernah membantunya dulu, dan mereka diajak bersama-sama masuk surga,” (Riwayat Hasan RA)
Masih dalam riwayat yang sama Rasulullah bersabda,”Bergaullah dengan fakir miskin sebanyak-banyaknya, bersikap sopanlah terhadap mereka, karena mereka akan diberi kekuasaan kelak.” Seseorang bertanya, ”Kekuasaan apa yang dimaksud,” Jawab Nabi, ”Kelak di hari kiamat diserukan kepada mereka: Perhatikan orang yang dahulu memberi makan dan minum kepadamu sekalipun hanya seteguk air, serta yang memberi pakaian sekalipun hanya sehelai kain, lalu ajaklah dan gandenglah tangan mereka menuju surga.” (Riwayat Hasan RA).

Lima Kemuliaan Fuqoro-Masakin
1. Pahala shalat, sedekah dan lain-lain melebihi orang kaya
2. Pahala dari keinginan yang tidak dipenuhi. Seorang bertanya kepada Nabi.” Jika kami menginginkan sesuatu, lalu tidak terpenuhi, berpahalakah kami?” Jawab Nabi,” Dengan amalah manal lagi kamu beroleh pahala jika tidak dengan demikian?” (Riwayat Hasan RA)
3. Masuk surga lebih dahulu
4. Ringan hizabnya
5. Tidak menyesal, sebab para orang kaya kelak ingin seperti orang miskin.

Meurut Al Faqih Abu Laits Samarqandi, ada beberapa fungsi fakir miskin yaitu:
1. Berfungsi sebagai dokter bagi orang kaya, karena jika sakit ia diperintahkan sedekan kepada fakir miskin.
2. Berfungsi sebagai pembersih, karena dengan sedekah dosa-dosa orang kaya lenyat, atau sebagai pembersih hartanya dengan memberikan zakat.
3. Sebagai pesuruh, karena ketika orang kaya akan bersedekah untuk bakti kepda orang tuanya yang sudah wafat, mereka mengundang orang fakir miskin dan memberikan sedekah kepada mereka.
4. Penjaga harta kekayaan, sebab harta yang dikeluarkan zakatnya(sedekahnya) akan dipelihara dari aneka bala(bencana).
Ibnu Abbas RA berkata,” Terkutuk orang yang memuliakan seseorang karena hartanya, dan menghina orang karena kemiskinannya.”

Satu saat iblis datang dalam ujud orangtua menemui Nabi Sulaiman Alaihis Salam. Kemudian beliau (Nabi Ssulaiman) bertanya, “Apa yang kau lakukan terhadap ummat Nabi Isa AS? Jawab iblis, ”Kuajak mereka menyembah dua tuhan selain Allah, lalu kepada ummat Muhammad, kubujuk mereka dengan emas dan perak, hingga kecintaan mereka terhadap keduanya melebihi “Lailaha illallah”. Kata Nabi Sulaiman, ”Aku berlindung kepada Allah dari godaanmu.” ( Riwayat Abddul Mun’im, Idris dari ayahnya, Wahb Manbah).
Fakir miskin wajib mengerti karunia Allah yang diberikan kepadanya, bahwa Allah menjauhkan harta, karena dimuliakan-Nya kelak di sisi-Nya. Karenanya janganlah mengeluh. Bersabarlah menghadapi kesulitan dunia, hal itu niscaya lebih baik daripada dunia.*/atw

Red: Cholis Akbar

Mulailah Ukhuwah dengan Silaturahmi Keluarga

Mulailah Ukhuwah dengan Silaturahmi Keluarga

 
Senin, 04 Juli 2011

MASALAH harta, warisan bahkan perbedaan keyakinan (madzhab, atau organisasi) kerap menjadi pemicu perseteruan antar anggota keluarga. Sehingga, akibat perbedaan ini, seorang orang tua dengan anak, kakak dan adik atau antar anggota keluarga menjadi terpisah, tidak sapa, seperti tidak saling kenal. Fenomena sosial ini seharusnya menjadi bahan renungan bagi kita semua. Sebab silaturahmi berkorelasi dengan keimanan seseorang dan juga masa depan keislaman kita.

Institusi keluarga adalah salah satu bagian dari komponen masyarakat. Keutuhan sebuah keluarga, merupakan kontribusi besar bagi terwujudnya umat Islam yang kokoh, dan bersatu padu (ukhuwah Islamiyah). Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam telah mewanti-wanti persoalan ini melalui ayat al-Qur'an dan as-Sunnah. Beliau memberi kabar akan bahaya memutus keluarga.

Ancaman Allah Subhanahu wa ta'ala terhadap pemutus keluarga sangat serius. Dalam surat Muhammad ayat 22-23, Allah Subhanahu wa ta'ala memvonisnya sebagai orang yang terkutuk, dengan telinga ditulikan dan penglihatannya dibutakan.

Artinya, nasihat-nasihat baik tidak akan bisa masuk telinga dan merasuk hatinya. Ia juga kesulitan melihat kebenaran (al-haq) walaupun kebenaran itu nyata di depan mata.

Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa ta'ala juga memberi predikat sebagai orang fasik dan merugi (QS. al-Baqarah 26-27), terkutuk dan penghuni neraka jahannam (QS. al-Ra'd 25). Ancaman al-Qur'an ini kemudian dita'kid (dikuatkan) oleh hadis Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam: "Tidak masuk surga orang yang memutus keluarga." (HR. Bukhari dan Muslim).

Penegasan dari hadis Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam ini menunjukkan bahwa ancaman Allah terhadap pemutus tali silaturahmi benar-benar serius.

Dengan demikian, sesungguhnya silaturahmi bertalian dengan keimanan seseorang. Silaturahmi adalah salah satu identitas seorang mu'min. Seorang mu'min mempunyai tabiat selalu menjaga keakraban dengan keluarga dan bila keluarga itu terputus, ia segera menyambung dan mengadakan islah. Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah menyambung keluarga (silaturahmi)." (HR. Bukhari)

Oleh sebab itu, hukuman orang yang memutus kerabat sungguh berat. Hukuman itu tidak hanya di akhirat tapi juga ditimpakan sejak di dunia. Sebab, memutus tali kekerabatan termasuk dari salah satu dosa besar. Bahkan dosa itu berimplikasi kepada orang-orang di sekitarnya.
Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Rahmat itu tidak diturunkan kepada kaum yang di dalamnya ada seorang pemutus keluarga."(HR. Bukhari) .

Hadis ini menunjukkan bahwa dosa memutus kerabat juga berakses negatif (dicabutnya Rahmat Allah) terhadap orang-orang yang hidup di sekitarnya.
Saudara yang berpisah dan berseteru bisasanya disebabkan pada masalah perebutan harta, warisan, kecemburuan, dan soal pribadi. Konflik dalam masalah-masalah tersebut sudah biasa terjadi dan sering terdengar telinga kita.

Kalau soal harta, kita sering mendengarnya. Tapi sebenarnya ada faktor lain yang mungkin akhir-akhir ini menjadi fenomena baru. Persoalan perbedaan madzhab fikih atau ormas Islam, dan partai kadang menjadi pemicu terjadinya konflik antar keluarga atau antar anggota masyarakat – pada beberapa kasus, soal ini sulit didamaikan.

Seseorang yang sudah mendalami madzhab baru biasanya berusaha kuat menyebarkannya kepada orang terdekat atau saudaranya. Sedang, anggota keluarga lain yang memegang tradisi pendahulunya tidak akan rela melepaskan begitu saja. Ajaran dan doktrin keagamaan harus diturunkan kepada anak cucu. Maka, bila tidak saling memahami, konflik saudara akan terjadi.

Dari perbedaan-perbedaan ini terjadilah salah komunikasi dengan anggota keluarga. Bahkan ada seorang mahasiswa yang aktif dalam gerakan baru di kampusnya rela putus hubungan dengan keluarganya demi berjuang menyebarkan madzhab barunya. Di rumah, ia tidak betah karena keluarganya menolak diajak masuk madzhab baru.

Perbedaan pandangan itu bermacam-macam kadarnya. Besar-kecilnya konflik juga bergantung dengan kadar perbedaan tersebut. Saat terjadi perbedaan hari Raya misalnya yang terjadi beberapa kali, orang sempat bersitegang dengan saudara yang berhari Raya tidak sama. Tetapi ketegangan itu bersifat sementara – bila masing-masing mengerti.

Musibah perpecahan keluarga pernah di alami oleh Nabi Nuh alaihissalam dengan anaknya Qan'aan. Tatkala Nabi Nuh alaihissalam dan ketiga putranya Sam, Ham, Jafits beserta pengikutnya yang beriman sudah berada di dalam kapal, karena ada banjir bandang – Qan'aan yang kafir menolak ajakan Nabi Nuh alaihissalam menaiki kapal. "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah" tolak Qan'aan.

Akibat menolak ajakan ayahnya itu, ia ditenggelamkan oleh Allah dihempas air bah beserta kaum Nabi Nuh alaihissalam yang kafir. Nabi Nuh alaihissalam sedih atas musibah ini, seraya berseru "Ya Allah ia adalah anakku". Tapi apa jawaban Allah? "Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, sesungguhnya perbuatannya adalah perbuatan yang tidak baik." (QS. Hud: 45).
Mendapat jawaban dari Allah Subhanahu wa ta'ala, Nabi Nuh paham bahwa anaknya telah memutus tali kerabat sekaligus memutus keimanan, ia bukan lagi anaknya. Oleh sebab itu dia harus merelakannya diazab oleh Allah Subhanahu wa ta'ala.

Qan'aan, dalam kisah tersebut walaupun mempunyai hubungan darah, tapi ia menganggap sudah tidak ada hubungan lagi dengan ayahnya. Padahal Nabi Nuh sangat menantikan ia kembali kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dan berkumpul kembali bersama saudara-saudaranya.

Beliau berusaha menyambung tali silaturahmi, dengan mengajak kembali kepada Allah. Tapi karena karena ia tetap memegang prinsip kekafirannya, Allah Subhanahu wa ta'ala memisahkannya dengan Nabi Nuh alahihissalam.
Dari kisah tersebut, kita semakin yakin dengan apa yang telah disabdakan Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam.. Orang yang menyambung silaturahmi akan selalu dinaungi rahmat Allah Subhanahu wa ta'ala , sebaliknya orang yang memutus hubungan silaturahmi akan dihimpit laknat Allah Subhanahu wa ta'ala. Qan'an dalam kisah tersebut menolak ajakan Nabi Nuh untuk merajut tali silaturahmi. Akibatnya, Allah Subhanahu wa ta'ala menimpakan adzab kepadanya.

Jadi persatuan Islam itu mesti dimulai dari silaturahmi keluarga. Caranya, tidak sekedar saling menziarahi, tapi yang lebih penting saling menasihati dan mendakwahi. Keluarga itu komponen masyarakat Islam. Jika kita mampu membentuk keluarga yang islami, rukun dan damai, maka masyarakat yang akan tercipta pun adalah masyarakat beriman bersatu padu di bawah naungan Islam yang dirahmati oleh Allah. */ Kholili Hasib

Red: Cholis Akbar

Jadilan Golongan yang Selamat!

Jadilan Golongan yang Selamat!

 
Selasa, 19 Juli 2011

PERNAH suatu ketika Rasulullah bersabda kepada para sahabat tentang akan terpecahnya ummatnya sebagaimana berpecahnya ummat-ummat sebelumnya.
Dari perpecahan tersebut hanya satu golongan yang masuk surga. Ini dijelaskan dalam hadits shahih riwayat Abu Hurairah yang berbunyi, "Yahudi telah berpecah belah ke dalam 71 atau 72 golongan. Nasrani pun telah berpecah belah ke dalam 71 atau 72 golongan dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan." (HR Abu Dawud di dalam Sunannya, bab As-Sunnah, Bab Syarhussunnah).
Ada juga hadits lain dari Auf bin Malik, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Yahudi telah berpecah menjadi 71 golongan, satu golongan di surga dan 70 golongan di neraka. Dan Nashara telah berpecah belah menjadi 72 golongan, 71 golongan di neraka dan satu di surga. Dan demi Allah yang jiwa Muhammad ada dalam tangan-Nya, ummatku ini pasti akan berpecah belah menjadi 73 golongan, satu golongan di surga dan 72 golongan di neraka." Lalu beliau ditanya: "Wahai Rasulullah siapakah mereka ?" Beliau menjawab: "Al Jamaah." (Sunan Ibnu Majah).

Defenisi sederhana arti ‘Al Jamaah’ adalah jalan hidup yang telah dilalui oleh Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam dan para sahabatnya dalam hal aqidah dan amal. Ini artinya, golongan yang selamat adalah mereka yang secara aqidah dan amalan mengikuti Rasulullah SAW dan para sahabat. Sedang golongan yang masuk neraka adalah yang menyimpang dari jalan tersebut.

Dalam perjalanan peradaban Islam telah muncul bebagai macam aliran dan golongan dalam Islam. Di antara golongan yang menisbatkan dirinya kepada Islam ada yang sesat di dalam bab tauhidullah dan asma serta sifat-Nya. Mereka meyakini bahwa sesungguhnya semua yang ada adalah Allah atau bahwa Allah menyatu dalam diri makhluk.

Pendapat seperti ini banyak diikuti oleh kaum sufi. Dalam tingkatan tertentu mereka mengaku dirinya menyatu dengan Allah sebagaimana pengakuan Mansur al Hallaj dan Syeikh Siti Jenar. Al-Halaj menggemparkan Baghdad dengan dengan ucapan esoteriknya: “Ana al-Haqq” (Akulah kebenaran). Sementara Syeikh Siti Jenar menggemparkan Pulau Jawa dengan paham `Manunggaling kawula gusti'. Karena paham tersebut, keduanya dihukum mati oleh para ulama di jamannya. Alasannya, keduanya telah menganut paham hulul, yaitu kepercayaan Persia Kuno yang meyakini bahwa Tuhan dapat menjelma dalam tubuh manusia. Paham ini dikenal pula dengan teologi phantaisme. Ini sama dengan ajaran Paulus yang merusak ajaran tauhid Nabi Isa dengan ajaran Trinitas-nya. Dalam ajaran Trinitas disebutkan bahwa Tuhan telah menjelma dalam diri Yesus.

Paham seperti ini jelas ditolak oleh Islam karena tidak sesuai dengan ajaran para Nabi. Rasulullah sendiri yang lebih “sufi” tidak pernah mengucapkan kata seperti itu. Bahkan dengan tegas mengatakan bahwa beliau adalah manusia seperti kita, namun mendapat wahyu. “Sesungguhnya aku adalah manusia seperti kamu yang diberi wahyu.” (Al Kahfi 110).

Jadi ajaran Al-Halaj dan Syeikh Siti Jenar menyalahi tuntunan aqidah Rasulullah. Ajaran Rasulullah yaitu bahwa Allah berada di atas langit, tegak (istawa) di atas Arsy-Nya dan terpisah dari makhluk-Nya. Karena itu kita hendaknya hati-hati dengan ajaran-ajaran sufi yang tidak berlandas pada Al Qur’an dan hadits. Imam Syafi’i berkata: “Orang yang paginya belajar sufi, maka sore harinya menjadi dungu.”

Kemudian di antara golongan itu ada pula yang sesat dalam bab iman. Mereka mengeluarkan amal dari iman dan mengatakan bahwa iman tidak bertambah ataupun berkurang sebagaimana pendapat Khawarij dan Mu’tazilah. Padahal yang benar adalah iman itu ucapan dan amalan, bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.
Dalam al-Qur’an Allah berfirman yang artinya: “Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya". (Al-Mudatstsir: 31).

Kemudian dalam ayat lain disebutkan: “Dan apabila diturunkan suatu surat, maka diantara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata : 'Siapa di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini ?' Adapun orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir." (At-Taubah : 124-125).

Rasulullah bersabda sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, yang berbunyi: "Iman itu tujuh puluh cabang lebih atau enam puluh cabang lebih, yang paling utama adalah ucapan "la ilaha illallahu" dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan (kotoran) dari tengah jalan, sedang rasa malu itu (juga) salah satu cabang dari iman." (HR. Muslim, 1/63)

Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah pernah ditanya tentang keimanan apakah bisa bertambah dan berkurang, beliau menjawab: “Iman bertambah sampai puncak langit yang tujuh dan berkurang sampai kerak bumi yang tujuh.” Beliau juga berkata: “Iman itu ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang. Apabila engkau mengamalkan kebajikan maka ia bertambah dan apabila engkau menyia-nyiakannya maka ia pun akan berkurang.”
Ada pula golongan yang sesat dengan mengeluarkan orang yang melakukan dosa besar dari Islam (dianggap kafir-pent.) dan memvonisnya sebagai orang yang kekal di dalam neraka. Paham seperti ini diyakini oleh golongan Khawariz. Padahal yang benar, pelaku dosa besar -selain syirik dan kufur besar- tidak mengeluarkan mereka dari Islam.
Orang Islam yang berbuat dosa besar dan maksiat dikatakan tidak sempurna imannya. Ia disebut fasiq akibat dosa besar yang ia lakukan, namun ia tidak keluar dari keimanan. Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika ada 2 golongan dari orang- orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Sesungguhnya orang -orang mukmin bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu.” (QS Al Hujurat : 10) Allah SWT menyebut dua kelompok yang saling berperang sebagai saudara meskipun kedua kelompok tersebut melakukan dosa besar dan juga kepada kelompok yang ketiga yaitu kelompok yang mengishlah keduanya.
Di antara mereka ada pula yang sesat dalam hal qadha' dan qadar. Mereka mengatakan bahwa manusia dipaksa terhadap amal-amalnya. Padahal yang benar adalah bahwa manusia itu mempunyai kehendak dan keinginan, oleh karena itu dia akan dihisab dan akan memikul akibat dari perbuatannya.
Di antara golongan itu ada yang sesat dalam bab al-Quran. Mereka mengatakan bahwa al-Quran adalah makhluk. Paham ini diyakini oleh kaum Mu’tajzila. Padahal yang benar Al-Quran itu Kalam Allah yang diturunkan dan bukan makhluk.

Di antara mereka ada pula yang sesat dalam bab sahabat. Mereka mengkafirkan para sahabat dan mencelanya. Sikap seperti ini dilakukan oleh kaum Syi’ah. Padahal para sahabat adalah orang-orang mulia yang disayangi Rasulullah. Mereka hidup ketika wahyu diturunkan. Merekalah orang yang paling berilmu dan paling taat beribadah di kalangan ummat ini. Mereka berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad dan Allah menolong dien ini dengan mereka dan Allah telah ridha kepada mereka.

Itulah ciri-ciri golongan yang menyimpang dari Islam dan mengada-adakan kebid'ahan dalam dienullah dengan rasa bangga. Mereka telah menelusuri jalan syetan yang menyimpang dari firman Allah: "Dan sesungguhnya inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah jalan ini dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lain lalu kalian akan berpisah dari jalan-nya. Yang demikian itu Allah telah mewasiatkan kepadamu agar kalian bertaqwa." (QS: Al An'am 153).
Mudah-mudahan kita termasuk golongan yang selamat!*/aql 

Red: Cholis Akbar