07 April 2011

Jadilah Pendengar Yang Baik (2)

Hidayatullah.com - Jadilah Pendengar Yang Baik (2)

Jadilah Pendengar Yang Baik (2)
Kamis, 10 Maret 2011
Tulisan sebelumnya
Kesediaan Rasulullah mendengarkan hingga tuntas pembicaraan orang merupakan cerminan akhlaq beliau yang sangat mulia. Dengan akhlaq mulia itulah Rasulullah menaklukkan hati orang, sehingga bersedia mendengarkan dan mempertimbangkan ajakannya.
Utbah adalah salah seorang mitra dialog yang kemudian tertarik dan terpesona dengan gaya komunikasi beliau. Tak heran jika teman-temannya kemudian mengatakan kepadanya bahwa Utbah telah tersihir ucapan Muhammad.
Jika dihitung, ucapan Utbah jauh lebihbanyak dari ucapan Rasulullah. Bahkan beliau hampir tidak berkapa apa-apa kecuali sekadar membacakan beberapa ayat suci al-Qur’an. Justru dengan berhemat bicara inilah akhirnya Utbah kepincut, dan akhirnya menyerah.
Sebagai ummatnya tentu sangat baik jika kita meniru dan mempraktekkan gaya Rasulullah dalam berdialog dan berkomunikasi. Beliau tidak ingin mendominasi pembicaraan, sebab hal itu sama saja dengan serakah dalam urusan makan. Keduanya merupakan dua sikap yang dicela oleh Islam.
Penyakit para pembicara
Ada juga kebiasaan buruk pada dai atau penceramah. Yakni berpanjang lebar dalam berpidato. Ini merupakan penyakit para khatib dan muballigh. Mereka tidak sadar bahwa ada batas tertentu di orang betah mendengar. Kapan mereka betah dan kapan sudah bosan. Lebih dari batas itu mereka ingin beranjak dari majlis. Andaikata bukan karena menjaga adab sopan santun, mereka mungkin sudah lari duluan akibat terlalu lama si dai bicara.

Bagi para khatib dan da’i mestinya lebih memperhatikan kemampuan pendengarnya. Pendengar, biasanya tidak bisa memberikan konsentrasi perhatiannya lebih dari lima belas menit. Setelah itu mereka akan merasa lelah dan konsentrasinya terpecah. Mereka ingin mendapatkan suasana baru yang dapat menyegarkan pikirannya.
Secara umum, sebagai khatib, muballigh atau pembicara, ada dorongan kuat dari dalam diri kita untuk memperpanjang pembicaraaan. Karenanya, segeralah mengoreksi diri, jangan-jangan dorongan itu merupakan keinginan nafsu belaka.
Sebab ada tiga kemumgkinan penyebabnya:
Pertama, rasa bangga terhadap diri sendiri. Merasa bahwa yang akan disampaikannya itu merupakan ilmu yang baru yang belum diketahui oleh para pendengar. Karenanya ia berkeinginan sekali untuk menyampaikannya, saat itu juga.

Kedua, ambisi atau keinginan untuk mendapatkan pujian, nama baik, dan ketenaran. Dengan berpanjang lebar berpidato diharapkan popularitasnya terdongkrak sebagai penceramah ulung atau setidak-tidaknya sebagai penceramah yang berilmu pengetahuan yang luas.
Ketiga, mengabaikan kemampuan pihak pendengar, baik dari segi ilmu, pengalaman, maupun keluasan pandangan. Dengan anggapan itu, seorang da’i/penceramah mengobral kata-kata, sampai-sampai tega menyelipkan berbagai kebohongan sekadar untuk memuaskan pendengar atau memuaskan dirinya senidiri.
Kita harus husudh-dhan bahwa para mustami’in (pendengar) cukup mengerti permasalahan yang kita ceramahkan. Tak usah diulang-ulang sehingga membosankan. Tak perlu diberi tekanan yang berlebihan seolah-olah mustami’nya bodoh. Dan seperti ini sangat berbahaya. Untuk itu lebih baik jika dibuka dialog. Dengan dialog kita dapat menjajaki seberapa jauh tingkat pemahaman orang yang kita ajak berbicara.
Muballigh/da’i/penceramah yang baik bukanlah mereka yang hanya pintar berceramah, tapi mereka yang selain pintar berceramah, juga pandai mendengarkan pembicaraan orang lain. Banyak muballigh yang jika disuruh berceramah kuat berdiri berjam-jam, tapi jika disuruh mendengar ceramah orang lain beberapa saat saja pantatnya sudah kesemutan.
Sama halnya dengan kita. Kita menjadi orang yang kuat bicara panjang lebar namun tak siap mendengarkan orang lain tatkala sedang berbicara.
Kebiasaan ini tentu saja berbeda dengan Rasulullah. Beliau justru lebih banyak mendengar. Jika berkata atau berpidato, beliau memilih kata-kata yang singkat, lugas dan tegas. Kita lihat hadits-hadits beliau rata-rata pendek. Hadits panjang bisa dihitung dengan jari.
Sebagaimana yang dicontohkan Nabi, yang benar adalah banyak mendengar sedikit berbicara. Bukankah anggota tubuh kita sudah mengisyaratkan hal itu? Bukankah kita hanya memiliki satu mulut dan dua telinga? Artinya, perbandingan antara pembicaraan dengan pendengaran itu semestinya satu berbanding dua. Kenapa yang terjadi justru sebaliknya?
Kita harus belajar menjadi pendengar yang baik sebagaimana kita belajar menjadi pembicara yang baik. Sebagian dari sifat-sifat pendengar yang baik adalah memberikan kesempatan kepada pembicara menuntaskan pembicaraannya sampai sempurna, tidak memotong pembicaraan orang lain, walaupun didapati beberapa kesalahan di dalamnya. Lebih baik kita membuat beberapa catatan untuk merekam semua pemblicaraan orang, kemudian menyampaikannya di saat gliran kita berbicara. Jangan sekali-kali memotong benang pikiran orang yang tengah diurai.
Termasuk sifat pendengar yang baik adalah tidak banyak memberikan komentar dan jawaban, jika sekiranya tidak perlu. Jika terpaksa harus memberi komentar sebaiknya dipilih kata-kata yang bijaksana.
Cucu Rasulullah, Hasan bin Ali ra menambahkan satu kiat menjadi pendengar yang baik, ia berkata:
“Wahai anakku, jika engkau mengikuti pembicaraan Ulama, hendaklah engkau lebih banyak mendengar daripada berbicara. Belajarlah menjadi pendengar yang baik sebagaimana engkau belajar menjadi pembicara yang baik. Dan janganlah kamu memotong pembicaraan seseeorang meski panjang lebar, hingga ia menyelesaikannya sendiri.” */SAHID


Rep: Administrator
Red: Cholis Akbar

Tidak ada komentar: